Jakarta, VIVA – Dengan lebih dari 3.500 kampus, Indonesia menjadi negara kedua dengan jumlah perguruan tinggi terbanyak di dunia. Dengan jumlah sebanyak itu, perguruan tinggi di Indonesia ibarat tambang permata yang tidak akan pernah habis dieksplorasi. Namun eksplorasi hanya mungkin dilakukan secara optimal jika ada kemitraan dengan industri. Karena, industri memiliki pengalaman menghilirkan ilmu pengetahuan menjadi produk yang bernilai ekonomi.
Gunawan Tjokro, Preskom PT Dynaplast yang juga anggota Majelis Wali Amanat Universitas Negeri Semarang (UNNES) mengatakan, sinergi industri dan perguruan tinggi sebenarnya gagasan yang telah dikemukakan sejak lama. Gagasan ini telah ada ketika Prof. Dr. Wardiman Djojonegoro memperkenalkan istilah link and match pada dekade 1990-an. Gagasan tersebut terus bergulir ketika diperkenalkan Merdeka Belajar Kampus Merdeka pada awal tahun 2020.
Kemudian, Menteri Pendidikan Dasar Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti dengan Program Praktisi Mengajar yang bisa mempercepat program Kementerian Pendidikan Tinggi Sains Teknologi (Kemdikti Saintek) yakni Kampus Berdampak di bawah Menteri Kemdikti Saintek Brian Yuliarto.
Namun, Gunawan Tjokro melihat, ada sejumlah kendala yang membuat sinergi dua entitas ini belum dapat dilaksanakan secara optimal. Menurutnya, ketiadaan jalan yang memadai untuk menghubungkan akademisi dan industri menyebabkan banyak kerepotan dan hilangnya potensi keuntungan.
Pengalaman sebagai direktur dan komisaris di beberapa perusahaan nasional menunjukkan, dia melihat hampir semua perusahaan besar, baik nasional maupun multinasional, selalu mempunyai program Management Trainee (MT) yang digunakan untuk mendidik fresh graduate yang memasuki perusahaan. MT dilakukan agar rekrutan baru tersebut siap menempati posisi tertentu. Dengan durasi satu hingga dua tahun, tentu ada banyak biaya yang dikeluarkan perusahaan.
Dari sisi perguruan tinggi, mampatnya sinergi industri dan perguruan tinggi membuat banyak hasil riset tidak dapat dihilirkan. Akibatnya, katanya, investasi miliaran dana riset yang dikeluarkan kampus tidak memberi benefit ekonomi yang layak. Padahal, semua perguruan tinggi membutuhkan pengembangan secara finansial supaya tidak tergantung pada dana masyarakat dan bantuan operasional dari pemerintah.
Pada saat yang sama, dia juga melihat bahwa banyak lulusan perguruan tinggi yang kesulitan memasuki dunia industri. Mereka sudah mengikuti kuliah, dinyatakan lulus dan punya gelar, tetapi kompetensi yang mereka miliki dinilai kurang relevan dengan kebutuhan industri.
“Ini adalah kesenjangan yang menjadi persoalan besar bagi bangsa Indonesia. Kondisi ini menyebabkan jumlah pengangguran terdidik menjadi semakin besar,” ungkapnya.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan sebanyak 5,25 lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran. Angka tersebut paralel dengan 842.378 orang.
Untuk itu, kata dia, kendala yang menghalangi sinergi perguruan tinggi harus segera diatasi. Pulau akademisi dan praktisi yang selama ini hanya dihubungkan oleh pelabuhan kecil, harus difasilitas alat perhubungan yang lebih massif.
“Agar pertukaran manfaat antara keduanya berjalan optimal, kita perlu siapkan jembatan tol yang membuat aliran pengetahuan bisa berjalan terus-menerus tanpa mengenal waktu,” tegasnya.
Empat Kendala
Ilustrasi mahasiswa perguruan tinggi.
Photo :
- ANTARA FOTO/Ampelsa
Memang tidak mudah untuk mewujudkan sinergi industri dan perguruan tinggi secara ideal. Keduanya memiliki latar belakang historis, orientasi ideologis, dan budaya yang berbeda. Empat aspek yang paling berperan menghalangi sinergi keduanya adalah perbedaan orientasi, sumber otoritas, tujuan, dan hasil akhir.
Orientasi perguruan tinggi dan industri memang berbeda. Orientasi perguruan tinggi adalah kepada pengembangan pengetahuan baru melalui penelitian, pengajaran, dan pengabdian kepada masyarakat. Adapun industri cenderung lebih pragmatis karena berorientasi pada penerapan pengetahuan dan keterampilan untuk melayani pasar.
Sumber otoritas dalam lingkungan perguruan tinggi adalah lembaga-lembaga akademis, seperti jurnal ilmiah, laboratorium, dan lembaga pengindeks seperti Scopus dan semacamnya. Adapun otoritas industri adalah pasar. Keberhasilan industri diukur melalui kemampuannya menyelesaikan masalah konkret di masyarakat secara komersial.
Perguruan tinggi cenderung memperluas pengetahuan dan memberikan kontribusi pada literatur ilmiah. Untuk mendapatkan kebaruan, masyarakat perguruan tinggi cenderung melakukan riset-riset dasar yang menghasilkan grounded theory. Adapun industri cenderung menghasilkan riset-riset terapan yang hasilnya dapat langsung diterapkan dan dikomersilkan.
Puncak dari perbedaan tersebut adalah hasil kerja. Industri cenderung secara gamblang menjadikan keuntungan finansial sebagai tujuan. Meskipun industri juga memiliki tanggung jawab sosial, keuntungan finansial adalah alat ukur yang paling utama. Perguruan tinggi cenderung mengejar pengakuan akademis atau rekognisi kepakaran.
Empat perbedaan fundamental ini telah menciptakan tembok penghalang yang membuat berbagai inisiatif sinergi industri dan perguruan tinggi belum sepenuhnya berhasil. “Sekalipun konsep link and match dan merdeka belajar telah diterapkan, dampak sosialnya belum cukup signifikan. Hingga hari ini industri dan perguruan tinggi tampak seperti dua pulau terpisah tanpa jalan penghubung yang memadai,” jelasnya.
Ilustrasi Mahasiswa Unika Atma Jaya.
Sinergi yang Berdampak
Sebagai pengusaha sekaligus anggota Majelis Wali Amanat (MWA) di Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH), Gunawan Tjokro melihat empat kendala tersebut dapat diatasi dengan sejumlah strategi.
Pertama, harus ada harmonisasi kebijakan yang menyediakan insentif lebih besar bagi kedua pihak untuk berkolaborasi. Kedua, menyediakan platform kolaborasi yang lebih massif dan berorientasi jangka panjang. Ketiga, mengatasi egosektoral.
“Harmonisasi kebijakan menjadi strategi pertama karena Indonesia adalah negara hukum. Di sisi lain, kita menyadari bahwa banyak peraturan di Indonesia yang tumpang tindih dan bahkan kontraproduktif. Harmonisasi dilakukan untuk memastikan regulasi tentang pendidikan tinggi dan industri berjalan seiringan,” kata Preskom PT Gunanusa Eramandiri in.
“Dalam konteks ini Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi harus diselaraskan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Dalam konteks ini, harmonisasi diperlukan untuk mengatur insentif yang mendorong keduanya berkolaborasi secara erat dan bermakna,” lanjutnya.
Sebagai contoh, katanya, perlu mendorong agar praktik “Praktisi Mengajar” dijadikan sebagai mandat bagi semua industri sebagai bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR). Ini penting untuk memastikan pengetahuan praktis yang dimiliki para praktisi di dunia industri dapat dialirkan ke perguruan tinggi.
Regulasi juga bisa mencakup insentif pajak bagi industri yang mengelola program praktisi mengajar sebagaimana saat ini pemerintah juga memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang mengembangkan Research and Development (R&D) yang dituangkan didalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2019 yang diberi nama super deduction tax. Kedua insentif pajak di atas diperuntukkan untuk meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat dibutuhkan untuk menyambut Indonesia Emas tahun 2045.
Peraturan yang diberlakukan mulai tanggal 26 Juni 2019 intinya mendorong korporasi untuk melakukan R and D. Pembelian capex yang dibutuhkan beserta seluruh biaya biayanya bisa di klaim ke Pemerintah melalui pemotongan pajak, bahkan dikalikan 2-3x, sangat luar biasa.
"Menurut pengamatan saya yang sangat miopic, program yang bagus tersebut tidak jalan dengn baik. Karena, masalah R and D bukan sekadar alat atau bangunan yang megah namun ini sangat berhubungan dengan inovasi, creativity dan hal-hal yang sangat ilmiah dan berhubungan dengan kemampuan SDM. Program Praktisi Mengajar secara masif dan terstruktur dapat menjadi 1 jalur yang menghubungkan industri dan akademisi diharapkan akan terjadi sinergi yang hebat untuk mencetak SDM unggul," ungkapnya.
"Oleh sebab itu usul saya agar Anggaran Pemerintah yang dialokasikan di Super Deduction Tax Program yang tadinya dialokasikan untuk R and D barangkali bisa diperluas ke program Praktisi Mengajar," lanjutnya.
Setelah regulasi diharmonisasi, strategi berikutnya adalah menyediakan platform kolaborasi. Platform digital menjadi faktor penting karena dapat mengatasi kendala konvensional seperti jarak dan waktu. Agar memberikan dampak besar, platform tersebut perlu mematuhi prinsip demokratisasi, kemudahan, interoperabilitas, dan keamanan. Inisiatif berupa Kedai Reka yang dilakukan pemerintah perlu dikembangkan dengan melibatkan lebih banyak pihak.
Agar kedua strategi tersebut dapat diimplementasikan, masalah egosektoral yang menjadi masalah laten dalam kerja sama antarinstitusi juga harus dituntaskan.
Terkait hal ini, Gunawan Tjokro mengidentifikasi ada dua masalah utama munculnya ego sektoral yaitu ketiadaan visi bersama dan kompetisi sempit. Ketidaaan visi bersama dapat diatasi oleh kepemimpinan yang kuat. Adapun kompetisi sempit yang membuat kementerian dan lembaga seolah-olah bersaing satu sama lain perlu diatasi dengan pendekatan Whole of Government (WoG).
Tiga strategi tersebut, jelasnya, memang tidak mudah dan dapat dinikmati hasilnya dalam waktu singkat. Namun ketiganya perlu dilakukan karena manfaat yang diperolehnya bisa sangat besar. Manfaat langsung yang dirasakan oleh industri dan perguruan tinggi adalah diperolehnya sumber daya manusia kompeten, menurunkan angka pengangguran terdidik, dan tersedianya akses pendanaan untuk pengembangan perguruan tinggi. Namun di luar manfaat langsung itu, bangsa Indonesia akan memperoleh keuntungan karena meningkatkan indeks pembangunan manusia (HDI) dan global competitiveness index (GCI).
Halaman Selanjutnya
“Ini adalah kesenjangan yang menjadi persoalan besar bagi bangsa Indonesia. Kondisi ini menyebabkan jumlah pengangguran terdidik menjadi semakin besar,” ungkapnya.