Jakarta, VIVA – Ahli Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda menjelaskan bahwa kata 'oke sip' tak bisa dijadikan dasar sebagai konteks terjadinya tindak pidana korupsi berupa suap. Hal itu merespon pernyataan dari ahli bahasa yang sempat dihadirkan dalam sidang Hasto Kristiyanto.
Chairul Huda turut dihadirkan menjadi saksi meringankan pada sidang kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan PAW DPR RI 2019-2024, dengan terdakwa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Sidang digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, pada Jumat, 20 Juni 2025.
Mulanya, tim penasihat hukum Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy menyinggung hasil analisa ahli bahasa yang menyebutkan kata 'oke sip' dapat menjadi dasar untuk menjadikan sesorang sebagai tersangka.
"Dalam persidangan karena saksi ini sudah diperiksa menyatakan tidak ada perbuatan dari terdakwa, maka dihadirkan ahli bahasa untuk menerjemahkan percakapan, telepon, dan ahli bahasa sampaikan harus ditanyakan kepada subjek yang berkomunikasi, yang memberi pesan dan menerima pesan," tanya Ronny Talapessy di ruang sidang.
Sidang Eksepsi Hasto Kristiyanto
Photo :
- VIVA.co.id/M Ali Wafa
"Pada saat persidangan kita munculkan bahwa saksi ini menyampaikan bapak itu bukan terdakwa gitu, kemudian apakah dari keterangan ahli bahasa itu bisa membuat sesorang itu akan menjadi terpidana?," lanjutnya.
Kemudian, Huda mengatakan bahwa ahli bahasa hanya menilai tentang teks dalam bentuk ujaran lisan. Namun, tidak bisa menyimpulkan terkait konteks di balik percakapan.
"Tidak bisa menilai konteks, karena yang bisa menilai konteks itu adalah ahli hukum. Kalau ahli bahasa tidak bisa menilai konteks," sebutnya.
"Dia cuma menyatakan 'oke sip' artinya apa, tetapi konteksnya ini disampaikan dalam keadaan bagaimana, oleh siapa, dalam situasi apa, itu yang menilai ahli hukum. Jadi kalau ahli bahasa hanya melihat dari segi teks atau ujaran," lanjut Huda.
Sebab, Huda menilai dalam penanganan kasus dugaan perintangan maupun korupsi tak perlu melibatkan ahli bahasa. Tetapi, ahli pidana yang mesti dilibatkan karena bisa memberi pandangannya terkait ada tidaknya pelanggaran pidana.
Sementara, pelibatan ahli bahasa disebut lebih cocok dalam penanganan kasus ujaran kebencian. Di mana, keahliannya bisa digunakan untuk membedah arti dari pernyataan yang menajdi pokok permasalahan.
"Nah makanya yang diperlukan ahli bahasa itu tindak pidana yang perbuatan di situ diwujudkan dalam ujaran, pasal-pasal ujaran kebencian, hate speech baru perlu ahli bahasa. Kalau perintangan penyidikan, engga ada perlunya ahli bahasa," kata Huda.
Kata tersebut sempat diungkap dalam percakapan antara Hasto dengan Saeful Bahri. Saat itu, menyangkut pemberian uang suap kepada mantan Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan agar mengupayakan Harun Masiku bisa menjadi caleg terpilih 2019-2024.
Pernyataannya muncul ketika Saeful Bahri menyampaikan nilai suap yang diminta oleh Wahyu Setiawan.
Dalam perkara dugaan suap, Hasto didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp 600 juta kepada Wahyu pada rentang waktu 2019-2020.
Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW), calon Legislatif Terpilih Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama Anggota DPR periode 2019-2024, Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Selain itu, Hasto turut didakwa menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022, Wahyu Setiawan.
Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh Penyidik KPK.
Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Halaman Selanjutnya
"Tidak bisa menilai konteks, karena yang bisa menilai konteks itu adalah ahli hukum. Kalau ahli bahasa tidak bisa menilai konteks," sebutnya.