VIVA – Armada penangkapan ikan jarak jauh milik Tiongkok kini menjadi sorotan dunia. Dengan lebih dari 16.000 kapal aktif, jumlahnya jauh melampaui batas resmi pemerintah Tiongkok yang hanya 3.000 kapal, menjadikannya armada perikanan terbesar di dunia menurut Overseas Development Institute (ODI).
Namun di balik dominasi tersebut, berbagai laporan internasional menunjukkan dampak serius terhadap lingkungan, hak asasi manusia, dan ketahanan pangan global.
Armada-armada ini tidak hanya menangkap ikan di wilayah yang lebih jauh; mereka beroperasi dengan transparansi yang buruk, pengawasan yang tidak memadai, dan semakin banyak bukti penyalahgunaan tenaga kerja dan lingkungan secara sistemik.
Dari sudut pandang ekologi, sifat destruktif dari operasi DWF Tiongkok mengkhawatirkan. Menurut laporan Oceana tahun 2025, menemukan bahwa kapal-kapal berbendera Tiongkok bertanggung jawab atas 44% dari seluruh aktivitas penangkapan ikan industri global yang terlihat antara tahun 2022 dan 2024, dengan lebih dari 110 juta jam di laut.
VIVA Militer: Kapal penangkap ikan China
Photo :
- Resilent Navigation and Timing Foundation
Sebagian besar upaya ini berfokus pada wilayah-wilayah yang kaya sumber daya namun sensitif secara ekologis di Afrika Barat, Kepulauan Pasifik, dan Amerika Latin—wilayah yang sudah berada di bawah tekanan perubahan iklim dan penangkapan ikan berlebihan di tingkat lokal.
Penggunaan kapal pukat dasar yang ekstensif oleh Tiongkok, yang menyapu dasar laut dan menghancurkan seluruh ekosistem, telah menuai kecaman internasional. Kapal-kapal pukat ini—banyak di antaranya beroperasi di bawah bendera asing untuk menghindari regulasi—bertanggung jawab atas kerusakan habitat jangka panjang, runtuhnya terumbu karang, dan tingkat tangkapan sampingan yang tidak berkelanjutan.
ODI memperkirakan bahwa ratusan kapal pukat Tiongkok aktif di kawasan perlindungan laut, baik secara ilegal maupun di bawah perjanjian akses bilateral yang tidak jelas dengan transparansi yang minim.
Sejalan dengan dampak ekologis tersebut, terdapat pula biaya manusia yang mengkhawatirkan. Serangkaian investigasi oleh Environmental Justice Foundation dan AP News telah mengungkap pola eksploitasi tenaga kerja di atas kapal-kapal DWF Tiongkok.
Laporan EJF tahun 2023, berdasarkan wawancara dengan lebih dari 100 awak kapal Indonesia, menemukan bahwa 99% mengalami pencurian upah, 97% melaporkan jeratan utang, dan 58% menyaksikan atau mengalami kekerasan fisik. Temuan-temuan ini bukanlah insiden yang terisolasi—melainkan insiden sistemik yang terjadi di berbagai armada dan samudra.
Halaman Selanjutnya
Laporan lebih lanjut oleh Euronews Green menggambarkan kapal-kapal DWF Tiongkok sebagai "penjara terapung", dengan para pekerja melaporkan shift kerja 18–20 jam, kurangnya perawatan medis, dan dalam beberapa kasus, terjebak di laut selama lebih dari setahun tanpa kontrak kerja yang layak atau jalur hukum.