Dampak Konflik Iran vs Israel dan AS: Picu Harga BBM dan Tarif Listrik Naik, Ekonomi Melambat

5 hours ago 2

Senin, 23 Juni 2025 - 13:19 WIB

Jakarta, VIVA – Ekonomi Indonesia berpotensi menanggung beban berat akibat memanasnya konflik di Timur Tengah, usai Amerika Serikat bergabung dengan Israel dalam menyerang fasilitas nuklir Iran. Kondisi ini dikhawatirkan berdampak ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan pertumbuhan ekonomi yang tak mencapai target.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, rencana ditutupnya Selat Hormuz oleh Iran tengah menjadi sorotan dunia, karena akan menyebabkan kenaikan harga minyak mentah. Bagi Indonesia, Bhima menilai bahwa subsidi energi berpotensi melonjak dan membebani APBN.

"Yang paling berisiko tinggi adalah subsidi energi melonjak signifikan. Harga BBM naik, bahkan tarif listrik juga berisiko disesuaikan sejak 2017 tidak ada kenaikan tarif listrik," ujar Bhima saat dihubungi VIVA, Senin, 23 Juni 2025.

ilustrasi harga BBM dan SPBU Pertamina (dok: Pertamina)

Photo :

  • VIVA.co.id/Anisa Aulia

Bhima menuturkan, terlibatnya AS secara langsung dalam konflik ini juga akan mengganggu distribusi minyak dan gas (migas), dan berbagai bahan baku yang melalui Selat Hormuz. Harga minyak mentah diproyeksi mencapai US$83 per barel setidaknya pada awal Juli 2025.

"Estimasi harga minyak mentah menyentuh US$80-US$83 per barel dalam waktu dekat, setidaknya awal Juli 2025. Meski permintaan energi saat ini sedang turun, tapi konflik bisa mendorong naiknya harga minyak signifikan," tegasnya.

Bhima menekankan, terdapat hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah, yakni lonjakan biaya impor BBM yang akan menyebabkan kenaikan pada inflasi harga yang diatur pemerintah, di tengah turunnya daya beli masyarakat.

"Harus diperhatikan pemerintah adalah lonjakan biaya impor BBM akan sebabkan inflasi harga yang diatur pemerintah melonjak, tapi disaat daya beli lesu. Ini bukan inflasi yang baik, begitu harga BBM naik, diteruskan ke pelaku usaha dan konsumen membuat pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat," jelasnya.

Ekonomi Diperkirakan Hanya Tumbuh 4,5 Persen Jika Perang Berlangsung Lama

Ekonomi Indonesia

Photo :

  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

Bhima menilai, jika perang tersebut berlangsung lebih lama maka ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,5 persen secara year on year (yoy) pada tahun ini. Artinya ekonomi Indonesia tidak akan tumbuh sesuai target pemerintah yang sebesar 5,2 persen pada 2025, atau semakin berat mencapai pertumbuhan 8 persen yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.

"Proyeksinya jika perang berlangsung lebih lama ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 4,5 persen year on year tahun ini. Makin berat mencapai target 8 persen pertumbuhan ekonomi, karena situasi eksternalnya terlalu berat, ditambah adanya efisiensi anggaran pemerintah," tegasnya.

Maka dari itu, Bhima mengatakan setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, pemerintah harus segera mengamankan komitmen investasi dari negara Timur Tengah khususnya GCC (UAE, Qatar, Saudi dan sebagainya) sebelum eskalasi konflik di Timur Tengah terus naik.

Kedua, mendorong pengembangan energi terbarukan lebih cepat. Sehingga ketahanan energi dapat terjaga, tidak terlalu bergantung pada impor BBM dan LPG. Ketiga, mempercepat serapan anggaran khususnya yang berorientasi pada penciptaan lapangan kerja.

"Keempat, BI wajib memastikan transmisi suku bunga yang lebih rendah ke bank domestik," imbuhnya.

Halaman Selanjutnya

Source : VIVA.co.id/M Ali Wafa

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |