Jakarta, VIVA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) buka-bukaan, terkait kondisi pasar keuangan Indonesia usai Amerika Serikat (AS) melakukan serangan ke Iran. Berdasarkan asesmen, kondisi pasar keuangan RI belum mengindikasikan situasi yang genting akibat gejolak tersebut.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro mengatakan Pemerintah melalui koordinasi lintas kementerian dan lembaga, termasuk Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, secara reguler memantau berbagai perkembangan kondisi global yang memberikan risiko bagi perekonomian dan sektor keuangan Indonesia.
"Dari sisi level tekanan yang dialami pasar keuangan Indonesia, berdasarkan asesmen belum mengindikasikan situasi yang genting. Level pelemahan masih sejalan dengan mekanisme pasar normal di mana terjadi penurunan risk appetite," ujar Deni dalam keterangannya, Senin, 23 Juni 2025.
Serangan Balasan Iran ke Israel
Photo :
- (Foto AP/Ariel Schalit)
Deni memperkirakan, untuk dampaknya akan bersifat sementara, sebab pasar masih terus mencermati perkembangan ke depan. Dia menilai, dalam sepekan ini level tekanan tidak akan berdampak signifikan.
"Level tekanan dalam sepekan ini masih berada dalam rentang yang aman dan belum memberikan dampak yang signifikan, baik terhadap perekonomian maupun kinerja industri jasa keuangan dalam negeri termasuk terhadap kinerja fiskal," jelasnya.
Foto ilustrasi minyak dunia
Sedangkan naiknya harga minyak dunia saat ini, efeknya ke Indonesia melalui tekanan harga minyak terhadap inflasi terkait dengan harga BBM masih bisa diredam melalui subsidi dan kompensasi. Menurutnya, masih ada ruang fiskal untuk menyerap risiko inflasi tersebut.
"Tekanan harga minyak terhadap inflasi yang terkait dengan harga BBM yang dapat diredam dengan adanya subsidi dan kompensasi, yang diberikan Pemerintah. Masih terdapat ruang fiskal untuk menyerap risiko inflasi terhadap domestik melalui kebijakan Pemerintah tersebut. Fungsi APBN sebagai shock absorber masih dapat berjalan dengan baik," terangnya.
Deni menjelaskan, level harga minyak saat ini masih berada di bawah asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang sebesar US$82 per barel.
"Harga minyak Brent di akhir pekan ini masih di US$77,27 (eop) dan rata-rata ytd ICP masih ada di bawah US$73 per barel. Sehingga masih terdapat ruang fiskal untuk meredam rambatan inflasi," tegasnya.
Meski demikian, Deni menekankan bahwa pemerintah akan terus mewaspadai risiko global dan transmisinya pada perekonomian domestik. Hal ini dengan menyiapkan langkah-langkah mitigasi awal dan mengoptimalkan peran APBN sebagai shock absorber.
"Sinergi kebijakan yang solid antara Pemerintah (baik pusat maupun daerah) untuk mengantisipasi risiko terjadinya inflasi dilakukan, termasuk sinergi kebijakan dengan otoritas fiskal, moneter, dan sektor keuangan. Transformasi struktural terus dilakukan, keberhasilan menjaga suplai pupuk melalui deregulasi misalnya, akan dilanjutkan untuk berbagai komoditas," imbuhnya.
Halaman Selanjutnya
Sedangkan naiknya harga minyak dunia saat ini, efeknya ke Indonesia melalui tekanan harga minyak terhadap inflasi terkait dengan harga BBM masih bisa diredam melalui subsidi dan kompensasi. Menurutnya, masih ada ruang fiskal untuk menyerap risiko inflasi tersebut.