VIVA – Pada awal bulan September 2025, sebuah pemandangan tak biasa terjadi di depan Gedung DPR. Sekelompok anak muda yang wajahnya sangat kita kenal dari layar ponsel dan kanal sosial media. Sebut saja, Jerome Polin, Andovi da Lopez, Fathia Izzati, dan puluhan influencer lainnya, berdiri bukan untuk membuat konten hiburan, melainkan untuk menyerahkan sebuah dokumen tebal bertajuk “17+8 Tuntutan Rakyat”.
Gerakan ini, yang menghimpun aspirasi jutaan warganet menjadi daftar tuntutan konkret dengan tenggat waktu yang jelas kepada pemerintah dan parlemen, menandai sebuah babak baru perubahan metode gerakan. Hal tersebut, bukan lagi sekadar aktivisme tagar; ini adalah pengorganisasian politik yang dimotori oleh figur-figur pop kultur digital.
Pergeseran ini lebih dari sekadar perubahan medium. Ini adalah cerminan "semangat zaman" (zeitgeist) baru, sebuah perubahan paradigma yang menandai cara kita, terutama generasi muda, menyuarakan keresahan dan memperjuangkan perubahan.
Meredupnya Gema Gerakan Kolektif
Untuk memahami betapa radikalnya perubahan ini, kita perlu sejenak menengok ke belakang. Sejarah Indonesia adalah sejarah yang diukir oleh anak-anak muda yang bergerak dalam satu barisan. Dari Sumpah Pemuda 1928 yang menyatukan bangsa dalam imajinasi kolektif, hingga gerakan Reformasi 1998 yang menumbangkan rezim otoriter, kekuatannya selalu terletak pada solidaritas. Gerakan-gerakan ini diikat oleh ideologi bersama, diorganisir dari bawah ke atas (grassroots), dan dimotori oleh organisasi mahasiswa serta kelompok aktivis yang memiliki struktur dan tujuan perubahan yang jelas. Kekuatan mereka adalah kemampuan memobilisasi massa secara fisik, menduduki ruang-ruang publik, dan memberikan tekanan berkelanjutan pada institusi kekuasaan.
Lalu, mengapa model yang terbukti ampuh ini seolah kehilangan relevansinya? Jawabannya terletak pada konvergensi tiga kekuatan besar yang berkelindan dan membentuk dunia kita saat ini. Pertama, arsitektur media sosial itu sendiri. Platform media sosial seperti X, Instagram, dan TikTok menyediakan infrastruktur untuk mobilisasi super cepat dengan biaya yang nyaris tidak ada. Tagar (#) menjadi alat pengorganisasian instan, mengubah isu lokal menjadi percakapan global dalam hitungan jam. Logika algoritma yang mengutamakan popularitas dan keterlibatan (engagement), secara tidak langsung memberikan panggung bagi individu dengan narasi personal yang kuat, bukan pada organisasi dengan agenda yang kompleks.
Halaman Selanjutnya
Kedua, erosi kepercayaan publik yang mendalam. Kita hidup di era krisis kepercayaan terhadap institusi tradisional seperti, pemerintah, partai politik, hingga media massa. Ketika sumber-sumber otoritas formal terasa berjarak dan tak lagi bisa dipercaya, masyarakat, khususnya Generasi Z, mencari figur alternatif yang terasa lebih otentik dan personal. Di sinilah influencer mengisi kekosongan itu, membangun hubungan kepercayaan yang lebih langsung dan personal dengan audiens mereka.
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.