Diduga Ada Pelambatan Proses Hukum, Komisi Yudisial Diminta Awasi PK Alex Denni

3 hours ago 2

Jakarta, VIVA – Komisi Yudisial (KY) diminta untuk melakukan pengawasan terhadap proses permohonan perkara Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh mantan Deputi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) Alex Denni yang pernah menjabat sebagai Deputi Kementerian BUMN dan memegang jabatan strategis di beberapa perusahaan BUMN.

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) meminta Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap Mahkamah Agung (MA) yang memeriksa dan mengadili perkara Alex Denni di tingkat PK. Hal ini PBHI sampaikan melalui surat resmi yang ditujukan kepada Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai dan telah dikirimkan pada Selasa (4/2) pekan lalu.

Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI Julius Ibrani mengatakan, berkas perkara Alex Denni untuk pemeriksaan pada tingkat PK telah dikirimkan sebanyak dua kali kepada Kepaniteraan Mahkamah Agung. Namun, hingga saat ini berkas PK perkara tersebut belum diterima Kepaniteraan MA sehingga belum terdapat nomor register perkara PK.

Padahal, berdasarkan pedoman yang dirilis MA, Panitera harus segera mengirimkan berkas perkara permohonan PK ke MA dalam waktu 30 hari setelah pemeriksaan persidangan selesai. Sementara Alex Denni, yang telah menjalani masa hukumannya selama delapan bulan dari vonis 1 tahun penjara, telah mengajukan PK melalui Pengadilan Negeri Bandung sejak 12 Desember 2024.

“Berkas PK yang hingga saat ini belum diterima di Kepaniteraan MA merupakan bentuk undue delay atau pelambatan proses hukum yang menghambat jalannya peradilan. Hal ini berpotensi melanggar prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan sebagaimana diamanatkan UU Nomor 48 Tahun 2009,” ujar Julius.

Selain itu, Julius mengatakan, tidak diunggahnya informasi terkait perkara tersebut dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) MA serta tidak disampaikannya informasi kepada kuasa hukum maupun pihak pencari keadilan bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik dan transparansi proses keadilan.

“Keadaan ini menimbulkan ketidakadilan serta ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan,” imbuh Julius.

Karena itu, dalam rangka mengungkap kebenaran materiil guna mewujudkan keadilan yang hakiki serta memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan, PBHI meminta Komisi Yudisial RI perlu segera mengambil tindakan yang sesuai dengan kewenangannya.

Selain melakukan pengawasan terhadap MA yang memeriksa dan mengadili perkara di tingkat PK, PBHI meminta KY memanggil dan memeriksa Pengadilan Negeri Bandung terkait berkas perkara tindak pidana korupsi dalam pemeriksaan pada tingkat PK atas nama terpidana Alex Denni yang saat ini belum diterima di Kepaniteraan MA meski telah dikirim kepada Panitera MA pada 12 Desember 2024.

PBHI juga meminta Komisi Yudisial RI untuk memberikan informasi kepada PBHI selaku pelapor mengenai tindakan atau hasil yang telah dilakukan. Selain itu, KY juga diminta mempublikasikan hasil pemeriksaan kepada masyarakat luas sebagai bagian dari keterbukaan informasi publik sekaligus bahan pembelajaran kepada publik.

Selain dugaan pelambatan proses hukum dalam perkara permohonan PK, permintaan PBHI kepada Komisi Yudisial juga didasari ditemukannya sejumlah kejanggalan dalam perkara Alex Denni sejak awal. Salah satu temuannya adalah tidak dipublikasikannya putusan atas nama Alex Denni baik di tingkat pengadilan pertama, banding, maupun tingkat kasasi.

Perkara Alex Denni juga ternyata berkaitan dengan perkara lain, yakni perkara dua pejabat PT Telkom Indonesia Tbk, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah. Sama halnya dengan perkara Alex Denni, putusan perkara terhadap Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah juga tidak ditemukan dalam publikasi resmi baik di tingkat pertama, banding, hingga tingkat kasasi.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Tim PBHI di Kepaniteraan MA maupun di Kepaniteraan PN Bandung, ditemukan fakta bahwa Alex Denni tidak pernah menerima Relaas Pemberitahuan Putusan Kasasi dari MA sama sekali sejak dieksekusi pada Juli 2024 lalu hingga saat ini setelah delapan bulan menjalankan hukuman di Lapas Sukamiskin, Bandung.

“Alex Denni tidak pernah menerima Relaas Pemberitahuan Putusan Kasasi dan Salinan Putusan Kasasi dari MA sejak 2013 sampai detik ini.  Bahkan, di PN Bandung dan Mahkamah Agung juga tidak ada dokumen Relaas Pemberitahuan Kasasi. Dengan demikian, eksekusi putusan terhadap Alex Deni harus dinyatakan batal demi hukum karena melanggar Hukum Acara Pidana dan prosedur administrasinya tidak sah secara hukum,” tegas Julius.

Indikasi rekayasa dan disparitas putusan

Setelah dilakukan telaah dan pemeriksaan terhadap putusan kasasi Alex Denni, Julius bilang, ditemukan beberapa kejanggalan yang mengarah pada indikasi rekayasa putusan. Salah satunya adalah ketidaksesuaian antara tanggal putusan Perkara Kasasi Nomor 164K/Pid.Sus/2013 dengan tanggal rapat permusyawaratan, penandatanganan, dan pengumuman oleh majelis hakim, yaitu pada 26 Juni 2013. Sementara dokumen putusan tercatat dengan tanggal 14 November 2013.

Selain itu, Hakim Ad Hoc Tipikor H. Hamrad Hamid selaku anggota majelis perkara kasasi telah meninggal dunia pada 7 September 2013 sehingga dinyatakan tidak dapat menandatangani putusan. Padahal, putusan telah dibacakan dan diumumkan pada 25 Juni 2013.

“Mengapa putusan yang belum ditandatangani bisa dibacakan dan diumumkan? Bagaimana putusan yang dibacakan dan diumumkan pada 26 Juni 2013 baru ditandatangani pada 14 November 2013? Selain itu, putusan yang hanya ditandatangani oleh dua hakim pada 14 November 2013 adalah tidak sah karena seharusnya ditandatangani oleh seluruh hakim yang mengadili perkara,” tegas Julius.

Kejanggalan yang paling mendasar, putusan terhadap Alex Denni, baik di tingkat banding maupun kasasi  bertolak belakang dengan putusan terhadap Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah. Berdasarkan eksaminasi yang dilakukan PBHI bersama tiga ahli hukum pidana, ditemukan kejanggalan baik di level administrasi pengadilan, hukum acara dan pemeriksaan perkara yang berujung pada terjadinya disparitas putusan.

Sejak awal, perkara Agus Utoyo, Tengku Hedi Safinah, dan Alex Denni dipisah alias splitsing meski ketiganya didakwa pada peristiwa atau perbuatan yang sama dengan unsur penyertaan, yakni tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara. Di tingkat pertama, ketiga perkara diperiksa oleh majelis hakim yang sama. Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah dinyatakan bersalah dan divonis 1,5 tahun penjara. Sementara Alex Denni selaku konsultan swasta diputus bersalah karena dianggap turut serta dalam rangkaian peristiwa tersebut dengan vonis 1 tahun penjara.

Di tingkat banding, dua pejabat Telkom tersebut dinyatakan bebas, tidak bersalah karena terbukti tidak melakukan penyalahgunaan wewenang dan tidak ada kerugian negara. Namun, dengan alat bukti yang sama, Alex Denni yang merupakan pihak swasta dan tidak punya kewenangan dalam membuat keputusan malah tetap dinyatakan bersalah.

Julius menegaskan, vonis bersalah terhadap Alex Denni jelas bertentangan dan melanggar penerapan hukum terhadap Pasal 55 KUHP yang mensyaratkan pihak penyelenggara negara harus divonis bersalah terlebih dahulu baru kemudian pihak swasta dapat dinyatakan bersalah.

Halaman Selanjutnya

Selain melakukan pengawasan terhadap MA yang memeriksa dan mengadili perkara di tingkat PK, PBHI meminta KY memanggil dan memeriksa Pengadilan Negeri Bandung terkait berkas perkara tindak pidana korupsi dalam pemeriksaan pada tingkat PK atas nama terpidana Alex Denni yang saat ini belum diterima di Kepaniteraan MA meski telah dikirim kepada Panitera MA pada 12 Desember 2024.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |