Jakarta, VIVA – Anemia pada anak tidak bisa dianggap enteng. Masalah ini bisa berdampak pada kemampuan belajar anak, yang akan memengaruhi IQ hingga menimbulkan masalah perkembangan lainnya di kemudian hari.
Unit Kerja Koordinasi (UKK) Henatologi Onkologi IDAI, Prof. Dr. dr. Harapan Parlindungan Ringoringo, Sp.A, Subsp.H.Onk(K), mengungkapkan, beberapa faktor risiko yang menyebabkan bayi atau anak terkena anemia antara lain, berat badan lahir rendah, terlahir kembar atau ibu menderita ADB. Scroll untuk info lengkapnya, yuk!
“Bisa juga karena selama dia bertumbuh asupan besinya kurang dari makanan sehari-hari, atau sebetulnya cukup tapi kebutuhannya meningkat, atau ada gangguan absorbsi,” ungkap Prof Harapan Parlindungan saat media breafing yang digelar Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), secara online.
Prof Parlindungan lebih lanjut mengungkap beberapa gejala yang muncul pada anak anemia, antara lain rewel tanpa sebab, letih, lesu, lemah, atau dalam kasus yang lebih berat jantung berdebar-debar. Namun, yang sangat terlihat adalah anak tidak lincah bermain.
“Tandanya pucat tapi tidak terjadi perdarahan, kelopak mata bagian dalam ada warna putih. Tapi, yang paling jelas di telapak tangan, kaki atau bibir yang berbeda sekali dengan orang normal (pucat),” jelasnya.
“Salah satu yang khas juga bisa dilihat di lidah. Bisanya lidahnya tidak mulus, kalau mulus artinya ada ADB. Kemudian kukunya melengkung atau lentik.Secara keseluruhan tanda-tanda yang bisa kita lihat umumnya nafsu makannya kurang, pucat, lesu, kadang-kadang menderita sakit,” imbuhnya.
Lalu, apa saja dampaknya jika anemia pada anak tidak segera diatasi?
“Ke depan akan terjadi gangguan motorik, kemampuan kognitif si bayi akan berkurang, gangguan perilaku, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, dan gangguan mobilisasi di otak dan sifatnya ireversibel atau tidak bisa dikembalikan,” ungkapnya.
“Dampaknya kemampuan belajar akan berkurang dibandingkan pada anak yang tidak ADB, produktivitas berkurang dan kualitas SDM akan menurun,” sambungnya.
Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi ADB?
“ASI tetap diberikan, ASI yang diberikan kandungan zat besinya harus cukup baik, fortifikasi makanan yang diberikan pada anak sejak mulai MPASI 6 bulan ke atas, dan hindari peningkatan berat badan yang berlebihan. Upayakan berikan makanan atau buah-buahan yang bisa meningkatkan absorpsi zat besi. Tapi yang paling penting dari semuanya adalah suplementasi besi 1 mg/hari tetap diberikan setiap hari pada bayi 0-4 bulan,” bebernya.
Menurut Prof Parlindungan, beberapa makanan yang bisa meningkatkan absorpsi zat besi paling banyak terdapat pada buah-buahan. Sebaliknya, makanan-makanan yang menghambat absorpsi zat besi, antara lain teh, kopi, susu, dan sebagainya. Namun, menurut sang profesor ASI atau buah-buahan saja tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan zat besi per hari, sehingga dibutuhkan suplementasi.
“Suplementasi zat besi bisa diberikan pada bayi yang baru lahir dengan dosis 1 mg/kgbb/hari. Hal itu karena kejadian ADB sudah tinggi sejak lahir. Kedua proses tumbuh bayi sangat cepat, sedangkan asupan dari ASI kurang. Ada penelitian pemberian sampai 12 mg tidak ada efek samping, jadi jangan takut kalau hanya memberikan 1 mg/ hari,” bebernya.
“Itulah sebabnya IDAI merekomendasikan sejak tahun 2011 bahwa suplementasi besi diberikan pada semua anak dengan prioritas usia balita (0-5 tahun), terutama usia 0-2 tahun,” pungkas Prof Harapan Parlindungan Ringoringo.
Halaman Selanjutnya
“Ke depan akan terjadi gangguan motorik, kemampuan kognitif si bayi akan berkurang, gangguan perilaku, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, dan gangguan mobilisasi di otak dan sifatnya ireversibel atau tidak bisa dikembalikan,” ungkapnya.