Gemuruh Dugaan Pelanggaran HAM di Balik Keceriaan dan Gemerlapnya Sirkus

3 hours ago 2

Sabtu, 26 April 2025 - 08:31 WIB

Jakarta, VIVA – Circus/Sirkus adalah tontonan yang menyenangkan, digemari hampir seluruh kelompok usia dari anak-anak sampai orang dewasa. Atraksi-atraksi hebat ditampilkan oleh pekerjanya dengan kelihaian tinggi, ekspresi wajah yang tenang, senyum dan gembira, walaupun menegangkan bagi para penonton.

Namun demikian, akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh pemberitaan yang berkaitan dengan Oriental Circus Indonesia (OCI), diduga bahwa telah terjadi penyiksaan, perbudakan, ekploitasi anak dsbnya oleh oknum manajemen terhadap pekerjanya atau mantan pekerjanya.

Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah telah terjadi dugaan pelanggaran HAM berat terhadap para mantan pekerjanya tersebut ? Hal ini tentunya masih dalam pemeriksaan dan mungkin saja penyelidikan oleh pihak-pihak terkait.

Namun demikian, artikel ini hanya akan “melirik” sekilas dan memberi pandangan normatif yuridis tentang bentuk dari pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Hal ini menjadi penting mengingat Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai dalam Hak Azasi Manusia.  

Korban Para Pemain Sirkus OCI RDPU dengan Komisi III DPR RI

Photo :

  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

Konstitusi kita yaitu UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia dan Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia secara eksplisit dan tegas meyatakan hal tersebut.

Di dalam undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia, pelanggaran HAM berat di Indonesia menjadi 2 (dua) bagian yaitu genosida (the crime of genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity), salah satu dari pelanggaran HAM berat tersebut adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity) yang dibagi menjadi 10 (sepuluh) perbuatan pelanggaran HAM berat dimana beberapa diantaranya adalah penyiksaan, perbudakan, perampasan kemerdekaan dsbnya. 

Kembali kepada dugaan penyiksaan dan beberapa hal tersebut diatas, jika hal tersebut  benar-benar dapat dibuktikan telah dilakukan oleh oknum-oknum didalam manajemen OCI terhadap mantan karyawannya tersebut, maka hal ini dapat dikualifikasikan telah terjadi pelanggaran HAM berat sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity) dan tentunya perbuatan tersebut dapat dan harus diadili melalui mekanisme pelanggaran HAM berat.

Untuk itu sudah seharusnya dilaporkan dan dilakukan proses penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) dan Jaksa Agung sebagai penyidik pada perkara ini (sebagaimana dalam undang-undang Pengadilan HAM), dan jika mengutip dari keterangan Pers Komnas HAM di Jakarta, 26 juni 2024 dinyatakan oleh Komnas HAM bahwa terdapat larangan tentang penyiksaan didalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia yang menyatakan “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakukan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan”, sebagaimana ditegaskan dalam Konstitusi kita pada pasal 28G ayat 2 UUD 1945 “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”  

Keseluruhan dari dugaan pelanggaran HAM berat tersebut dapat diadili (walaupun pada saat perbuatan tersebut dilakukan) undang-undang tentang pengadilan HAM belum ada (belum disahkan). Hal ini dikarenakan undang-undang tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia tidak menganut azas retroaktif, sebagaimana dinyatakan secara jelas dalam pasal 43 (ayat 1) UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia “pelanggaran hak azasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini diperiksa, dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc” dan selanjutnya berbeda dengan ketentuan dalam pasal 78  - pasal 85 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan daluarsa, maka dalam pasal 46 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia menyatakan “untuk pelanggaran hak azasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa”.

Oleh sebab itu jika dugaan tersebut dilakukan dalam rentang waktu 1970-an sampai dengan tahun 1990 di mana undang-undang mengenai Pengadilan HAM belum ada (belum diundangkan), namun terhadap dugaan pelanggaran HAM berat tersebut tetap dapat diadili melalui mekanisme pelanggaran HAM berat berdasarkan ketentuan dalam undang-undang nomor 26 tahun 2000, tentang Pengadilan HAM, dan selanjutnya jika dikaitkan dengan kapan/waktu pelaksanaan peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut dilakukan maka sebagaimana ketentuan dalam Pasal 46 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia, Pengadilan Hak Azasi Manusia tetap dapat mengadili perbuatan pelanggaran HAM berat tersebut, hal ini sekali lagi ditegaskan dikarenakan undang-undang tentang Pengadilan HAM -pun tidak mengenal daluarsa (masa berlaku). Oleh karena itu, maka para pelaku pelanggaran HAM berat ini tetap dapat dijatuhi sanksi berdasarkan undang-undang tersebut. 

Hal ini sangat penting, agar selanjutnya para pelaku pelanggaran HAM berat tidak dapat bersembunyi dan lari dari tanggungjawabnya, maju terus penegakan hukum khususnya penegakan hak azasi manusia (HAM) di Indonesia.

Ditulis oleh : Robertus Rani Lopiga THR., S.H., M.H.Li.

Halaman Selanjutnya

Kembali kepada dugaan penyiksaan dan beberapa hal tersebut diatas, jika hal tersebut  benar-benar dapat dibuktikan telah dilakukan oleh oknum-oknum didalam manajemen OCI terhadap mantan karyawannya tersebut, maka hal ini dapat dikualifikasikan telah terjadi pelanggaran HAM berat sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity) dan tentunya perbuatan tersebut dapat dan harus diadili melalui mekanisme pelanggaran HAM berat.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |