Jakarta, VIVA – Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Mulai dari hutan tropis, pegunungan, hingga laut dalam, negeri ini menyimpan kekayaan flora dan fauna yang luar biasa.
Namun, potensi ekonomi dari kekayaan alam tersebut justru belum tergarap maksimal. Di tengah dorongan transisi ekonomi hijau, biodiversitas diharapkan bisa menjadi sumber kesejahteraan baru bagi masyarakat Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan lewat Roundtable Dialogue terkait Biodiversity Credit yang digelar oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) di Menteng, Jakarta, Senin, 14 April 2025. Salah satu yang menjadi pembicara yakni Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq.
Dalam sambutannya, dia mengungkapkan bahwa keanekaragaman hayati di Indonesia memiliki nilai ekonomi yang besar, baik untuk pangan, energi, hingga obat-obatan. Sayangnya, menurut dia, pemanfaatan yang berkelanjutan dan bernilai ekonomi ini masih minim.
“Keanekaragaman hayati Indonesia juga sangat melimpah secara genetik, dan memiliki potensi besar sebagai sumber daya pangan, obat-obatan, dan energi. Namun, kita menghadapi berbagai tantangan besar dalam melestarikan keanekaragaman hayati, tantangan tersebut antara lain ancaman alih fungsi lahan, pemanfaatan sumber daya yang tidak berkelanjutan, pencemaran lingkungan,” ujar Hanif.
Dia juga menyayangkan masih lemahnya tata kelola keanekaragaman hayati di Indonesia. Bahkan, menurut Hanif, negara ini belum serius mengelolanya.
“Untuk penanganan biodiversity, Indonesia masih sangat lemah. Kalau boleh kita katakan, kita masih memulai dalam gigi, bahkan belum gigi satu juga," tambah dia.
Ironisnya, banyak kekayaan genetik asli Indonesia kini justru dikembangkan oleh negara lain tanpa kompensasi yang adil. Hal ini menunjukkan belum optimalnya penerapan mekanisme access and benefit sharing (ABS).
“Saat ini juga banyak spesies kita yang berada di luar negeri, yang dimanfaatkan secara intensif, tanpa kemudian ada akses dan pembagian manfaat, sebagaimana diamanatkan oleh Protokol Nagoya," ungkap Hanif.
Melihat adanya potensi ekonomi yang besar, Kadin diharapkan bisa menjadi motor penggerak untuk inisiatif pembuatan regulasi ini. "Jadi bagaimana kemudian, access and benefit sharing ini bisa kita bangun regulasinya. Kita mau menagih bagaimana? Regulasi saja tidak punya, instrument saja belum terbangun," ujarnya.
Kadin sendiri juga menegaskan pentingnya transformasi keanekaragaman hayati sebagai aset ekonomi yang bermanfaat. Sebab itu, sektor bisnis harus berkolaborasi dalam upaya pengelolaan keanekaragaman hayati, yang tidak hanya berfokus pada pelestarian, tetapi juga dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Pernyataan ini juga didukung oleh Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, Priyanto Rohmatulloh, yang menekankan pentingnya potensi ekonomi yang terkandung dalam keanekaragaman hayati Indonesia. "Untuk memastikan pendapatan per kapita di Indonesia setara seperti negara maju dan perekonomiannya termasuk lima besar di dunia pada tahun 2045, maka pembangunan berkelanjutan dalam rangka ekonomi hijau telah diarus-utamakan di dalam RPJPN 2025–2045," ujarnya.
Halaman Selanjutnya
“Untuk penanganan biodiversity, Indonesia masih sangat lemah. Kalau boleh kita katakan, kita masih memulai dalam gigi, bahkan belum gigi satu juga," tambah dia.