Jakarta, VIVA – Sutradara Wisnu Surya Pratama menghadirkan episode final dari serial dokumenter (docuseries) ‘Sosok Baik Indonesia’, yang bisa disaksikan melalui akun YouTube @niatbaikhasilbaik_id. Episode ini mengisahkan sosok penyintas gempa Lombok 2018, yang meski mengalami tragedi besar, ia mampu menemukan kekuatan untuk bangkit dan bahkan memberikan inspirasi.
Gempa dengan magnitudo 7 Skala Ritcher itu memberikan dampak sangat besar. Data Badan Penanggulangan Bencana mencatat sebanyak 212.593 rumah rusak, menelan 567 korban jiwa, dan 445.343 warga terdampak. Journal of Holistic Nursing and Health Science (2018) mencatat sebanyak 64,7 persen korban mengalami Gangguan Stres Pascatrauma (Post Traumatic Stress Disorder/ PTSD).
“Ketika kita menonton atau membaca berita mengenai bencana, yang kita tahu adalah jumlah orang mengungsi, terdampak, atau ada korban jiwa. Secara tidak sengaja, kita melihat orang itu hanya sebagai ‘angka statistik’. Pada kenyataannya, mereka adalah manusia yang memiliki kehidupan masing-masing. Bagi penyintas, bencana yang dialami oleh mereka tidak hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga trauma yang mendalam. Salah satunya adalah Jayadi, seorang warga Singaraja, Bali, yang selamat dari gempa Lombok pada 5 Agustus 2018. Di sini, saya coba mengangkat kisah beserta kegigihannya untuk tidak hanya menyembuhkan trauma yang ia dan keluarganya alami, tetapi juga bagaimana beliau membantu komunitas di sekitarnya untuk mengatasi rasa trauma dari salah satu bencana gempa bumi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia tersebut,” jelas Wisnu Surya Pratama, sutradara docuseries Sosok Baik Indonesia.
Jayadi sosok penyintas gempa Lombok 2018
Ketika gempa mengguncang, Jayadi sedang berada di rumah bersama keluarganya. Getaran gempa begitu kuat sehingga meninggalkan trauma mendalam yang masih sangat jelas dalam ingatannya. “Itu gempanya bukan goyang kiri kanan, kita seolah-olah diangkat naik turun. Semakin lama, gempanya semakin besar,” kenang Jayadi.
Dalam kepanikan itu, istri Jayadi pingsan, sementara dua anak mereka terpaksa dititipkan untuk ikut mengungsi bersama tetangga karena kondisi yang sangat berbahaya. “Pada saat gempa itu, keadaannya cukup parah. Saya melihat beberapa orang sudah dalam kondisi terluka, anak-anak saya juga sangat ketakutan dan mulai menangis. Akan tetapi, saya tidak mau menangis karena saya tidak mau terlihat lemah di hadapan anak-anak dan istri saya. Kalau saya nangis, anak saya pasti akan lebih takut,” kenang Jayadi dengan mata yang berkaca-kaca.
Meski dalam kondisi yang penuh kepanikan dan ketegangan, Jayadi tetap berusaha tegar demi keluarganya. Anaknya yang berusia 4 tahun bahkan berusaha menghilangkan rasa takut sendiri dengan meminta agar ia diperbolehkan bernyanyi. Namun, meskipun telah enam tahun berlalu, Jayadi mengaku bahwa trauma dari bencana tersebut tidak berangsur hilang. "Kadang, mendengar suara keras bisa membuat saya mengingat hari naas tersebut, bahkan istri saya bisa sampai gemetar dan sesak nafas, tapi saya mencoba mengalihkannya dengan pekerjaan," cerita Jayadi.
Lahir dalam Keterbatasan, Bertumbuh dengan Harapan
Lahir dari keluarga sederhana, Jayadi tumbuh dengan penuh perjuangan. Ayahnya seorang supir yang kemudian beralih menjadi petani, dan meski Jayadi dikenal sebagai anak yang cerdas dan bahkan menerima PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) yang memungkinkan Jayadi bisa masuk perguruan tinggi tanpa ujian, ia tidak ingin membebani orang tuanya dengan biaya pendidikan yang tinggi. “Saya tidak berani membicarakan apa yang saya dapatkan ke orang tua saya. Saya harus bekerja keras setelah lulus SMA untuk membantu keluarga,” ungkapnya.
Meskipun hidupnya penuh tantangan, Jayadi tidak pernah berhenti berusaha. Ia berhasil diterima bekerja di restoran McDonald’s Indonesia setelah tiga kali melamar. Pada tahun 2016, ia diangkat sebagai Regional General Manager (RGM) di Mataram, Lombok, sebuah posisi dengan tanggung jawab yang cukup besar, yang sempat membuatnya tidak percaya diri karena ia hanyalah seorang lulusan SMA.
Bencana gempa terjadi saat Jayadi sedang bertugas di Mataram. Meski demikian, gempa Lombok membawa banyak pelajaran baginya. Keberanian dan rasa tanggung jawab kepada keluarga serta masyarakat mulai membentuk pandangannya tentang hidup. Ia semakin merasa bahwa kehidupan harus berguna untuk orang lain. “Bencana Lombok menyadarkan saya bahwa hidup itu harus berguna untuk keluarga dan masyarakat. Saat melihat orang-orang baik yang memberi air dan selimut, saya merasa terinspirasi,” ujar Jayadi.
Bencana ini juga membawa Jayadi untuk lebih terlibat dalam kegiatan sosial. Ia bergabung dengan Sekaa, sebuah organisasi adat yang menghimpun keluarga-keluarga untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan masyarakat. “Sekaa mengajarkan saya bagaimana memiliki rasa empati, bekerja sama dengan orang lain, dan meredam ego demi kepentingan bersama,” jelasnya.
Selain itu, Jayadi juga belajar banyak dari budaya Bali yang kental dengan nilai kekeluargaan. Ia mengajarkan kepada anak-anaknya untuk mengenal seni, terutama tari, yang menjadi minatnya sejak kecil. Meskipun tidak dapat mewujudkan impian menjadi penari di masa kecil karena keterbatasan biaya, Jayadi kini mendorong anak-anaknya untuk menekuni dunia seni, termasuk anak ketiganya yang saat ini aktif belajar menari.
Hingga kini, Jayadi terus berjuang untuk membuat hidupnya lebih bermakna, mengutamakan kebersamaan keluarga dan kepedulian terhadap sesama. “Bencana yang menghancurkan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah pelajaran berharga tentang pentingnya kepedulian, kerja sama, dan rasa syukur,” ujar Jayadi yang kini menjadi sosok inspiratif bagi penyintas bencana dan masyarakat sekitarnya.
Kisah Jayadi mengingatkan kita bahwa di balik setiap bencana, ada kisah keberanian dan harapan. Kisah Jayadi merupakan salah satu contoh nyata tentang bagaimana seseorang dapat bangkit dari trauma dan kesulitan, serta mengubahnya menjadi kekuatan untuk membantu orang lain. Seperti namanya, yang berarti ‘harapan,’ Jayadi mengajarkan kita bahwa hidup bisa menjadi sumber ketahanan dan keberanian yang memberi inspirasi bagi banyak orang, sekalipun penuh dengan tantangan.
Halaman Selanjutnya
Lahir dari keluarga sederhana, Jayadi tumbuh dengan penuh perjuangan. Ayahnya seorang supir yang kemudian beralih menjadi petani, dan meski Jayadi dikenal sebagai anak yang cerdas dan bahkan menerima PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) yang memungkinkan Jayadi bisa masuk perguruan tinggi tanpa ujian, ia tidak ingin membebani orang tuanya dengan biaya pendidikan yang tinggi. “Saya tidak berani membicarakan apa yang saya dapatkan ke orang tua saya. Saya harus bekerja keras setelah lulus SMA untuk membantu keluarga,” ungkapnya.