Jumat, 7 Maret 2025 - 01:01 WIB
Jakarta, VIVA – Daya saing digital Indonesia secara konsisten memang mengalami peningkatan selama lima tahun terakhir. Namun, kesenjangan masih menjadi tantangan, terutama bagi wanita-wanita, apalagi yang tinggal di daerah terpencil.
Namun, dua perempuan, Chamidatun Insyaroah dan Khusnul Fitriani, membuktikan bahwa perempuan juga bisa sukses di bidang teknologi jika memiliki kemauan yang tinggi, meski awalnya hanya memiliki skill yang terbatas. Seperti apa kisah mereka? Scroll untuk tahu lebih lanjut, yuk!
Chamidatun Insyaroah sebelumnya bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga. Ketika menemukan informasi tentang Perempuan Inovasi melalui Instagram, meski belum pernah mengoperasikan laptop, ia berani mendaftar karena teringat akan impiannya mendapatkan beasiswa untuk terus belajar.
Bersama timnya, ia menciptakan SAIA, sebuah aplikasi jual beli berbasis fitur card matching, yang mempertemukan UMKM perempuan di sektor kerajinan tangan dan kuliner dengan pelanggan yang memiliki permintaan khusus. Inovasi ini mendapatkan People’s Choice Award dalam Demo Day, sebuah ajang presentasi hasil karya peserta beasiswa di hadapan mentor, juri industri, dan pemangku kepentingan.
“Aku tadinya mencari yayasan penyalur babysitter karena memang perempuan di sini setelah lulus SMA banyak yang kerja buruh pabrik atau Pekerja Rumah Tangga. Tapi ternyata aku bertemu Yayasan Dian Sastrowardoyo yang bukan yayasan penyalur tapi memberikan beasiswa Perempuan Inovasi hasil kolaborasi dengan Markoding dan Magnifique Indonesia. Aku dari dulu ingin dapat beasiswa, jadi aku mencoba daftar,” kata Chamidatun dalam keterangannya, dikutip Kamis 6 Maret 2025.
Sementara itu, Khusnul Fitriani yang berasal dari Kait Kait, Tanah Laut, Kalimantan Selatan juga menghadapi tantangan serupa. Di tempat tinggalnya, pernikahan dini masih menjadi hal yang lumrah, sehingga hanya sedikit perempuan yang bisa melanjutkan pendidikan tinggi. Profesi utama di Kait Kait pun mayoritas petani, sehingga butuh keberanian untuk dapat melanjutkan pendidikan tinggi.
“Kalau keluargaku petani nggak berarti aku harus jadi petani. Aku mau kasih pembeda di keluargaku,” ujar Khusnul.
Keberanian itulah yang membawa Khusnul menjadi salah satu perempuan yang berhasil merantau dan menyelesaikan pendidikan hingga S-1 di bidang Teknik Industri. Namun untuk mendapatkan pekerjaan, ia perlu memiliki keterampilan lebih dari apa yang dipelajari di kuliah. Dorongan itu menggerakkan Khusnul untuk mendaftar Beasiswa Perempuan Inovasi dan akhirnya lolos mengikuti Bootcamp UI/UX Design.
Bersama timnya ASIH, sebuah aplikasi yang berfokus pada pencegahan stunting bagi ibu dan anak pun tercipta. ASIH memiliki fitur pencatatan tumbuh kembang anak, pencarian resep sesuai anggaran dan bahan makanan yang tersedia, serta AsihAI, yang dapat menganalisis bahan makanan di rumah untuk memberikan rekomendasi resep bernutrisi.
Amanda Simandjuntak, Founder Perempuan Inovasi, mengatakan, Perempuan Inovasi diharapkan dapat menciptakan ekosistem yang lebih inklusif, memberdayakan perempuan untuk berkontribusi dan berinovasi di era digital.
“Kesuksesan Chamidatun dan Khusnul membuktikan bahwa perempuan di daerah terpencil dapat bersaing dan berinovasi dalam bidang teknologi, asalkan diberikan akses dan kesempatan yang setara. Dengan semakin banyaknya perempuan yang terlibat dalam teknologi, diharapkan akan lahir lebih banyak solusi digital yang dapat menjawab tantangan sosial di berbagai daerah di Indonesia,” pungkasnya.
Halaman Selanjutnya
“Kalau keluargaku petani nggak berarti aku harus jadi petani. Aku mau kasih pembeda di keluargaku,” ujar Khusnul.