Jakarta, VIVA – Generasi Z alias Gen Z, yang merupakan kelompok kelahiran setelah 1997, ternyata menjadi yang paling terdampak masalah pengangguran. Alih-alih siap bersaing di pasar kerja, banyak dari Gen Z justru terjebak dalam status NEET atau Not in Education, Employment, or Training.
Artinya, mereka tidak sedang menjalani pendidikan, bekerja, maupun dalam masa training. Ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah ini semata karena malas, atau ada masalah yang jauh lebih dalam pada sistem pendidikan dan ekonomi kita?
Melansir dari Fortune, Rabu, 26 Maret 2025, data terbaru menunjukkan, bahwa di Amerika Serikat saja, lebih dari 4,3 juta anak muda tidak sedang bekerja maupun bersekolah. Di Inggris, jumlah anak muda yang masuk kategori NEET bertambah lebih dari 100.000 hanya dalam setahun terakhir.
Para ahli menilai, ini bukan soal mentalitas generasi muda, melainkan hasil dari sistem pendidikan. Melihat ini, Jeff Bulanda, Wakil Presiden Jobs for the Future, menegaskan bahwa ini saatnya ada wake-up call bagi institusi pendidikan dan pelaku industri.
Ilustrasi: Generasi Z memasuki dunia kerja
Photo :
- Freepik.com//@prostooleh
“Terlalu banyak waktu dihabiskan untuk mempromosikan gelar sarjana empat tahun sebagai satu-satunya jalur sukses, padahal hasil akhirnya sering tidak pasti dan tidak merata," ujarnya.
"Penting bagi anak muda untuk menjadi konsumen pendidikan yang cerdas, dengan memahami biaya, kualitas, dan nilai jangka panjang dari setiap jalur yang mereka ambil," sambung dia.
Data juga menunjukkan bahwa bidang-bidang seperti kesehatan memiliki prospek jauh lebih cerah. Di Amerika Serikat, lebih dari satu juta lapangan kerja baru diperkirakan akan muncul dalam satu dekade ke depan untuk profesi seperti perawat dan tenaga kesehatan rumah. Sayangnya, jutaan lulusan tiap tahunnya justru memiliki gelar yang tidak membawa mereka ke jalur karier yang jelas, sehingga berakhir dalam posisi kerja yang jauh dari harapan, dan ditambah beban utang pendidikan yang terus membengkak.
CEO Bentley Lewis, Lewis Maleh, menambahkan bahwa universitas perlu meningkatkan komunikasi tentang prospek karier nyata, sekaligus membekali mahasiswa dengan dukungan mental dan pengembangan ketahanan diri. “Universitas tidak sengaja membuat mahasiswa gagal, tapi sistemnya gagal memenuhi janji yang tersirat,” ujarnya.
Krisis NEET ini juga dipicu oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, sewa, bahan bakar, hingga buku teks. Ada mahasiswa yang bahkan harus menolak tawaran pekerjaan impian mereka karena tidak mampu membiayai transportasi atau pakaian kerja. Ditambah lagi, perkembangan pesat kecerdasan buatan turut mempersempit lapangan kerja yang sebelumnya tersedia.
PBB sendiri memperingatkan bahwa masih terlalu banyak anak muda yang memiliki kesenjangan keterampilan. Solusi yang disarankan meliputi peningkatan program magang dan pelatihan, serta membangun koneksi yang lebih kuat antara dunia pendidikan dan dunia industri.
“Yang paling penting adalah bimbingan karier yang lebih baik dan personal,” tutup Bulanda. “Saat anak muda tidak tahu apa pilihan mereka, tidak ada yang membantu mereka menyambungkan titik-titik, dan langkah berikutnya terasa berisiko. Tidak heran mereka berhenti. Pertanyaannya bukan lagi kenapa mereka putus asa, tetapi kenapa kita belum berbuat lebih baik untuk memberikan mereka opsi yang relevan," tutupnya.
Halaman Selanjutnya
Data juga menunjukkan bahwa bidang-bidang seperti kesehatan memiliki prospek jauh lebih cerah. Di Amerika Serikat, lebih dari satu juta lapangan kerja baru diperkirakan akan muncul dalam satu dekade ke depan untuk profesi seperti perawat dan tenaga kesehatan rumah. Sayangnya, jutaan lulusan tiap tahunnya justru memiliki gelar yang tidak membawa mereka ke jalur karier yang jelas, sehingga berakhir dalam posisi kerja yang jauh dari harapan, dan ditambah beban utang pendidikan yang terus membengkak.