Pengamat: Desakan Purnawirawan TNI untuk Makzulkan Gibran Bernuansa Politis

6 hours ago 4

Jakarta, VIVA – Seruan sekelompok purnawirawan TNI untuk memecat Gibran Rakabuming Raka dari posisi Wakil Presiden RI dinilai drama politik yang tak perlu dilakukan. Bahkan tudingan adanya pelanggaran administratif yang menjadi alasan mereka mendesak pemecatan terasa lebih politis ketimbang yuridis.

Demikian disampaikan pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C Zulkifli, dalam catatan analisis politiknya. Dia menyayangkan sikap para purnawirawan TNI tersebut.

"Di saat negeri ini membutuhkan ketenangan dan arah yang jelas, justru mereka yang harusnya jadi sosok panutan memilih menabuh genderang kegaduhan," kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu, 26 April 2025.

Mantan Ketua Komisi III DPR itu mengaku heran dengan kegaduhan politik yang akhir-akhir ini terjadi di ruang publik. Alih-alih membawa pencerahan tapi justru menebalkan kabut perpecahan.

Apalagi, kata dia, sekelompok purnawirawan TNI yang seyogianya menjadi contoh ketenangan dan kebijaksanaan malah turut serta dalam pusaran hiruk-pikuk dengan melayangkan tuntutan pemecatan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka.

"Dalih yang digunakan pun tampak dipaksakan, pelanggaran administratif dalam proses pencalonan," kata dia.

Pieter Zulkifli mengatakan bila publik tidak bisa menutup mata terhadap pentingnya etika dan hukum dalam kontestasi politik. Namun, saat sebuah gugatan kehilangan proporsinya bahkan terkesan mengada-ada, maka yang muncul bukanlah keadilan, melainkan kegaduhan.

"Kita justru patut bertanya, untuk siapa sebenarnya tuntutan ini diajukan?" ucap dia.

Sejumlah purnawirawan yang tergabung dalam Forum Purnawirawan Prajurit TNI menyampaikan tuntutan terbuka kepada Prabowo Subianto selaku Presiden terpilih. Dalam pernyataan tersebut, mereka mendesak agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengambil langkah mengganti Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka dengan dalih proses pencalonannya melanggar hukum.

Menariknya, penandatangan tuntutan itu bukan figur sembarangan. Di antara mereka terdapat nama mantan Wakil Presiden keenam RI Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, serta sejumlah tokoh militer berpengaruh seperti mantan Menteri Agama Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, mantan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, hingga mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan. 

Forum ini mengeklaim mewakili ratusan purnawirawan, mulai dari jenderal bintang empat hingga kolonel. Kehadiran mereka membawa bobot simbolik tersendiri.

"Namun justru di situlah tantangannya. Ketika tokoh-tokoh yang pernah menduduki posisi strategis dalam pertahanan negara ikut mendorong narasi penggantian wapres yang telah dipilih melalui mekanisme konstitusional, publik akan bertanya, apakah ini murni kegelisahan moral, atau ada arus bawah tanah politik yang sedang bergerak?" kata Pieter Zulkifli.

Dia mengatakan TNI sebagai institusi sejatinya telah menetapkan garis tegas, yaitu netral dalam politik praktis. Maka ketika para purnawirawan yang notabene masih memiliki jejaring kuat dalam tubuh militer bersikap seolah menjadi oposisi formal terhadap hasil pemilu.

"Publik bisa menilai ini bukan hanya soal hukum, tapi juga manuver politik. Dan celakanya, manuver semacam ini hanya menambah runyam suhu demokrasi yang sedang rapuh," katanya.

Yang lebih disayangkan, gugatan terhadap Gibran tidak hanya menyasar pribadi, tetapi juga menyeret keabsahan proses pemilu secara keseluruhan. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) lembaga tertinggi dalam urusan sengketa pemilu telah memutus perkara ini.

"Meskipun kita bisa memperdebatkan kualitas moral atau etik suatu keputusan, namun dalam tatanan negara hukum, putusan MK adalah final dan mengikat," katanya.

Pieter Zulkifli mengamini demokrasi memang tidak menjamin hasil yang memuaskan semua pihak. Tapi demokrasi menuntut kedewasaan menerima hasilnya, sekalipun pahit.

"Apabila setiap ketidakpuasan direspons dengan seruan pemecatan atau delegitimasi, maka kita sedang menggali lubang bagi kehancuran sistem itu sendiri," kata dia.

Dia menilai saat ini bangsa justru lebih membutuhkan suasana tenang untuk memulai transisi pemerintahan dengan baik. Fokus utama mestinya bukan pada tarik-menarik kursi kekuasaan, tapi bagaimana pemerintahan baru bisa menjawab tantangan ekonomi, ketimpangan sosial, dan situasi geopolitik yang kian mencekam. 

"Kritik tetap penting. Bahkan harus. Namun, kritik yang membangun bukan yang menyeret institusi ke tengah badai, apalagi menggiring publik pada ilusi bahwa semua hasil demokrasi bisa dibatalkan hanya karena tidak sesuai dengan harapan sebagian pihak," tegas Pieter Zulkifli.

Dia mengatakan para purnawirawan yang kini tampil di ruang publik sesungguhnya memiliki posisi istimewa. Dengan pengalaman, reputasi, dan kebijaksanaan yang mereka miliki, kontribusi strategis bisa diberikan dalam bentuk nasihat, evaluasi, dan pemikiran kebangsaan yang mencerahkan.

"Bukan dalam bentuk tuntutan emosional yang berpotensi memecah belah," kata dia.

Menurutnya, Indonesia tidak kekurangan masalah seperti tantangan ekonomi, ketimpangan sosial, krisis iklim, hingga tekanan geopolitik global. Sehingga, yang dibutuhkan justru ketenangan politik dan kepemimpinan yang transformatif.

"Bukan kegaduhan baru yang hanya memperpanjang deret frustrasi publik terhadap elite," ujarnya.

Pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka

Photo :

  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

Pieter Zulkifli lantas mengutip pernyataan Aristoteles, yakni orang yang terus mencari kesalahan orang lain akan kehilangan waktunya untuk memperbaiki dirinya sendiri. Dalam konteks ini, kata dia, energi bangsa semestinya diarahkan pada pembenahan masa depan, bukan pengulangan sengketa masa lalu.

Dia menekankan transisi pemerintahan adalah momen penting untuk meletakkan fondasi baru yang lebih kuat. Sedangkan tugas kekuasaan bukan memperbaiki kesalahan di masa lalu, tetapi memperbaiki arah untuk masa depan.

Pieter Zulkifli juga menegaskan baik pemerintah yang akan datang, maupun para tokoh bangsa, memiliki tanggung jawab yang sama. Antara lain, menjaga muruah demokrasi, merawat ketenangan publik, serta membangun kepercayaan rakyat terhadap sistem. 

"Karena pada akhirnya, bangsa ini tidak butuh kegaduhan tambahan. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang bekerja, elite yang bijak, dan rakyat yang diberi ruang untuk berharap," tegasnya.

Halaman Selanjutnya

Pieter Zulkifli mengatakan bila publik tidak bisa menutup mata terhadap pentingnya etika dan hukum dalam kontestasi politik. Namun, saat sebuah gugatan kehilangan proporsinya bahkan terkesan mengada-ada, maka yang muncul bukanlah keadilan, melainkan kegaduhan.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |