Jakarta, VIVA — Sebanyak 121 Guru Besar dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) menyatakan keprihatinan mendalam terhadap arah kebijakan pemerintah dalam sistem pendidikan kedokteran dan layanan kesehatan di Indonesia.
Dalam sebuah surat terbuka yang ditujukan langsung kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto, mereka menyampaikan sejumlah sorotan kritis terhadap perubahan regulasi yang dinilai berpotensi merusak fondasi profesionalisme dan mutu pendidikan kedokteran di Tanah Air.
Surat tersebut disampaikan secara resmi pada Jumat, 16 Mei 2025, dan memuat sedikitnya lima poin penting yang mencerminkan kegelisahan para akademisi senior ini terhadap masa depan pelayanan kesehatan nasional.
Ilustrasi dokter
Photo :
- www.pixabay.com/jennycepeda
Poin paling utama yang ditekankan adalah kekhawatiran atas hilangnya independensi kolegium, sebuah lembaga yang selama ini berperan penting dalam menjaga standar pendidikan dan kompetensi profesi dokter. Perubahan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, yang kemudian diperkuat melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Dalam regulasi baru tersebut, tata kelola kolegium mengalami pergeseran peran yang dinilai bisa mengancam objektivitas dan profesionalitas dunia kedokteran.
“Independensi kolegium merupakan pilar penting untuk menjaga mutu pendidikan kedokteran dan kredibilitas penilaian kompetensi dokter. Jika ini dilemahkan, maka penentuan standar profesi berisiko menjadi tidak netral,” tulis para Guru Besar dalam surat terbuka itu.
Mutasi Mendadak Picu Kekacauan Pendidikan Dokter Spesialis
Selain soal kolegium, para guru besar juga menyoroti praktik mutasi mendadak terhadap para dokter, khususnya di rumah sakit vertikal milik pemerintah. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan ketidakstabilan dalam sistem pelayanan, tapi juga mengganggu kesinambungan pendidikan dokter spesialis dan subspesialis.
“Disintegrasi antara rumah sakit pendidikan dengan fakultas kedokteran serta mutasi mendadak staf medis yang merangkap sebagai dosen mengganggu proses belajar-mengajar dan menurunkan kualitas pendidikan kedokteran,” ungkap mereka.
Dalam sistem pendidikan dokter spesialis, keberadaan rumah sakit pendidikan yang terintegrasi erat dengan fakultas kedokteran merupakan kunci untuk memastikan pembelajaran berbasis kasus nyata (clinical exposure) dapat berjalan optimal. Ketika dosen klinis yang memegang peran sentral dipindah secara mendadak tanpa mempertimbangkan keberlangsungan akademik, maka pendidikan pun terganggu.
Kritik berikutnya tertuju pada beberapa pernyataan pejabat publik yang dinilai menyudutkan profesi dokter dan tenaga kesehatan. Guru besar FK UI menilai bahwa narasi yang cenderung menyalahkan atau meremehkan tenaga medis justru berbahaya, karena dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem pelayanan kesehatan nasional.
“Profesi tenaga kesehatan harusnya mendapatkan dukungan dan penghormatan proporsional sesuai kontribusinya. Jika citranya terus dilemahkan, dampaknya bukan hanya pada semangat tenaga medis, tapi juga pada kepercayaan masyarakat,” tegas mereka.
Sebagai bentuk tanggung jawab moral dan akademik, para guru besar tidak hanya menyampaikan kritik, tetapi juga memberikan sejumlah solusi konkret kepada pemerintah. Dalam surat terbuka tersebut, mereka mengajukan empat tuntutan strategis:
1. Mengembalikan independensi kolegium kepada para ahli yang kompeten di bidangnya, demi menjaga profesionalisme dan standar objektif.
2. Membangun kembali kemitraan yang sehat dan kolaboratif antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, rumah sakit, fakultas kedokteran, serta kolegium, agar pendidikan kedokteran tidak terfragmentasi.
3. Menempatkan tenaga kesehatan secara adil dan terhormat, sesuai dengan peran strategisnya dalam pembangunan nasional di bidang kesehatan.
4. Menjaga ruang dialog dan etika komunikasi yang sehat antara pembuat kebijakan dan tenaga profesional, demi iklim akademik yang konstruktif dan berkelanjutan.
Guru besar FK UI berharap, seruan ini tidak hanya menjadi kritik semata, tetapi juga membuka ruang refleksi dan perbaikan di tingkat kebijakan. Mereka menegaskan bahwa suara ini lahir dari kepedulian terhadap masa depan bangsa, bukan untuk kepentingan segelintir kelompok.
“Demikian suara keprihatinan ini kami sampaikan dengan penuh tanggung jawab moral dan akademik. Semoga menjadi perhatian Bapak Presiden demi masa depan kesehatan bangsa,” tutup surat yang turut dikonfirmasi oleh Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, SpOG (K), salah satu guru besar FK UI yang menjadi juru bicara dalam penyampaian keprihatinan tersebut.
Halaman Selanjutnya
Selain soal kolegium, para guru besar juga menyoroti praktik mutasi mendadak terhadap para dokter, khususnya di rumah sakit vertikal milik pemerintah. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan ketidakstabilan dalam sistem pelayanan, tapi juga mengganggu kesinambungan pendidikan dokter spesialis dan subspesialis.