Manggarai Barat, VIVA – Satuan Reserse Kriminal Polres Manggarai Barat menerima 32 laporan kasus terkait perempuan dan anak sepanjang tahun 2024 lalu. Dari semua itu, hanya satu kasus yang sudah diproses sampai ke kejaksaan, hingga awal tahun 2025 ini.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Manggarai Barat, AKP Lufthi Darmawan Adit
Photo :
- Vera Bahali/tvOne
Hal ini dikonfirmasi Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Manggarai Barat, AKP Lufthi Darmawan Aditya. Ia mengatakan salah satu faktor banyaknya kasus tidak dilanjut karena pelapor dan terlapor memutuskan untuk damai. Faktor lain karena terkendala jarak tempuh yang jauh, dan pelapor dan terlapor yang susah memenuhi panggilan penyidik.
Dari 32 kasus yang dilaporkan, terdapat 5 laporan terkait persetubuhan anak di bawah umur, 6 laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga, 17 kasus penganiayaan, dan terkait penelantaran, perdagangan orang, pelecehan seksual, dan pengeroyokan masing-masing 1 laporan.
Kasus yang telah selesai pemberkasan dan diserahkan ke kejaksaan, terkait kasus persetubuhan anak di bawah umur.
"Ada kemarin kasus persetubuhan anak di bawah umur, tersangka sudah ditahan. Memang katanya sudah damai, ada surat damainya, tapi sesuai petunjuk Polda NTT, itu nanti dilampirkan pada berkas saja. Jadi itu nanti menjadi pertimbangan hakim untuk memutuskan perkara itu mau
berapa tahun," lanjut Lufthi.
Sementara itu, Koordinator Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Flores Barat, Sr. Frederika Tanggu Hana, SSpS mengatakan ada 18 kasus perempuan dan anak yang dimediasi oleh pihaknya selama tahun 2024. Frederika menilai, semua proses hukum kasus tersebut terbilang lamban dan mempengaruhi psikologis korban.
"Yang kami lihat, proses kasusnya lambat sekali, bisa sampai 1 tahun, pada umumnya 8-9 bulan baru ada penetapan tersangka. Korban sering akhirnya putus asa karena jenuh dan tidak mendapat kepastian selama prosesnya," kata Sr. Frederika.
Ia melanjutkan, kasus yang melibatkan perempuan dan anak sering berakhir dengan penyelesaian secara kekeluargaan. Upaya mediasi ini, lanjut Frederika, bahkan sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
"Biasanya dilakukan mediasi secara adat lalu penyelesaiannya berupa denda uang dengan jumlah tertentu yang diberikan pihak pelaku kepada korban. Upaya seperti ini bahkan terjadi pada kasus pencabulan dan persetubuhan terhadap anak di bawah umur yang sebenarnya tidak dibenarkan secara hukum," jelasnya. (Vera Bahali/tvOne/NTT)
Halaman Selanjutnya
"Yang kami lihat, proses kasusnya lambat sekali, bisa sampai 1 tahun, pada umumnya 8-9 bulan baru ada penetapan tersangka. Korban sering akhirnya putus asa karena jenuh dan tidak mendapat kepastian selama prosesnya," kata Sr. Frederika.