Jakarta, VIVA – Pemerintah tengah menggodok regulasi pembatasan usia minimum untuk mengakses platform digital. Hal ini untuk melindungi anak-anak dari risiko dunia maya, seperti kecanduan internet, paparan judi online, dan konten berbahaya.
Namun, para pakar mengingatkan bahwa kebijakan ini tidak boleh dibuat tergesa-gesa tanpa kajian mendalam. Jasra Putra, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menegaskan bahwa pembatasan usia minimum, penting untuk mencegah anak-anak terpapar risiko dunia maya.
Berdasarkan laporan UNICEF Online Knowledge and Practice of Parents and Children in Indonesia (2023), sebanyak 99,4% anak Indonesia berusia 8-18 tahun menggunakan internet, dengan rata-rata waktu penggunaan 5,4 jam per hari. Laporan ini juga menyebut bahwa 85,4% anak mengaku sangat menikmati aktivitas daring, terutama untuk hiburan, bermain gim, mencari informasi, dan berkomunikasi.
Namun, menurut Jasra, regulasi ini tidak akan efektif tanpa pengawasan ketat. “Anak-anak dapat dengan mudah menggunakan identitas orang tua atau akun lain untuk menghindari batasan usia minimum,” ujarnya, seperti dikutip dari siaran pers, Jumat, 21 Februari 2025.
Ilustrasi anak kecanduan gadget.
Indriaswati Dyah Saptaningrum, pakar Hukum Teknologi dari Universitas Atma Jaya, menambahkan bahwa meningkatnya kasus cyberbullying dan kejahatan daring memang menuntut adanya regulasi. Namun, menurut dia pendekatan yang digunakan harus berupa shared responsibility atau tanggung jawab bersama yang melibatkan pemerintah, platform digital, keluarga, dan masyarakat.
Di lain sisi, Indriyatno Banyumurti, Direktur Eksekutif ICT Watch, menegaskan bahwa regulasi hanyalah salah satu aspek perlindungan anak di dunia digital. Namun, solusi yang lebih komprehensif diperlukan.
“Di hulu ada aturan regulasi, di tengah ada edukasi literasi digital dan pemanfaatan teknologi seperti fitur parental control, serta di hilir ada pengawasan dan penegakan regulasi yang efektif,” jelasnya.
Jasra menekankan bahwa literasi digital bagi orang tua juga krusial. “Banyak orang tua yang literasi digitalnya masih terbatas, sehingga sulit mengawasi aktivitas anak di internet,” kata dia.
Indriyatno menambahkan bahwa orang tua dan sekolah perlu lebih aktif dalam mendampingi anak-anak, sementara platform digital juga harus lebih bertanggung jawab dalam edukasi pengguna.
Di negara tetangga seperti Singapura, baru-baru ini menilai efektivitas langkah-langkah keamanan platform media sosial mereka melalui laporan dari Infocomm Media Development Authority (IMDA). Laporan ini bertujuan memberikan informasi bagi orang tua dan pengguna agar lebih bijak dalam mengambil keputusan terkait keamanan daring.
Model ini bisa menjadi contoh bagi Indonesia dalam menyusun regulasi batas usia. Jika ada kriteria penilaian yang jelas, pemerintah dapat memastikan regulasi yang dibuat, sehingga tidak sekadar aturan di atas kertas, tetapi benar-benar bisa diterapkan secara efektif.
Indriaswati juga mengingatkan bahwa regulasi yang dibuat harus berbasis kajian menyeluruh agar tidak menimbulkan dampak baru yang merugikan. “Diperlukan kajian mendalam agar regulasi yang diterapkan benar-benar sesuai dengan perkembangan psikologi anak dan kondisi sosial masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Indriyatno menegaskan bahwa kebijakan ini harus berbasis bukti (evidence-based) dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk anak-anak yang akan terdampak. “Jangan hanya mengejar target waktu, tapi pastikan kebijakan yang dihasilkan benar-benar bisa ditegakkan,” ujarnya.
Halaman Selanjutnya
“Di hulu ada aturan regulasi, di tengah ada edukasi literasi digital dan pemanfaatan teknologi seperti fitur parental control, serta di hilir ada pengawasan dan penegakan regulasi yang efektif,” jelasnya.