Agus Buntung Menikah, Begini Proses Pernikahan Tanpa Kehadiran Dirinya

1 day ago 6

Minggu, 13 April 2025 - 18:41 WIB

Lombok, VIVA  – I Wayan Agus Suwartama atau Agus Buntung resmi menikah dengan Ni Luh Nopianti, pernikahan tersebut digelar tanpa kehadiran Agus yang saat ini masih menjadi tahanan Rutan.

Pengacara Agus, Ainuddin membenarkan pernikahan tersebut.

“Pernikahan sudah dilaksanakan sebelum ada kasus, tapi karena (Agus) dilanda musibah tidak bisa hadir, sudah ada kesepakatan di internal keluarga kemudian (pernikahan) dijalankan secara adat,” katanya, Minggu, 13 April 2025.

Agus Buntung Pelaku Pelecehan Seksual Divonis 12 Tahun Penjara

Photo :

  • Tangkapan Layar Instagram @fakta.indo

Menariknya, pernikahan Agus dan Nopianti tersebut dilaksanakan tanpa kehadiran Agus. Sebuah keris dibungkus kain putih menjadi simbol pengganti Agus saat proses pernikahan berlangsung.

“Prosesi (pernikahan) ini dikenal sebagai Widiwidana, sebuah upacara penyatuan dua keluarga yang diakui oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI),” ujarnya.

Keris dianggap sebagai simbol laki-laki dalam tradisi pernikahan adat umat Hindu. Sehingga secara adat pernikahan tersebut adalah sah.

Proses Pernikahan

Ainuddin menjelaskan, sebelum upacara inti, keluarga mempelai pria beserta tokoh adat (Pinandita atau Pemangku) mendatangi keluarga Ni Luh Nopianti untuk melakukan Mepamit, yaitu prosesi meminta izin secara adat agar mempelai wanita dibawa ke keluarga mempelai pria.

Dalam kondisi ini, karena I Wayan Agus tidak dapat hadir secara fisik, kehadirannya diwakili oleh keris sebagai simbol kehormatan, kekuatan, dan kesetiaan laki-laki Bali.

“Keris tersebut dibungkus dengan kain putih dan diarak layaknya representasi sang mempelai,” katanya.

Setelah Mepamit selesai, Ni Luh Nopianti diantarkan ke kediaman keluarga I Wayan Agus untuk melaksanakan Widiwidana (penyatuan dua jiwa). Upacara ini dipimpin oleh tokoh adat dengan serangkaian ritual.

Rangkaian ritual tersebut yaitu:

1. Pembacaan Mantra dan Prayascita: Membersihkan segala energi negatif dan memohon restu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 

2. Pemasangan Tikar (Lakar Bantal): Simbol penerimaan mempelai wanita sebagai bagian dari keluarga pria. 

3. Pemberian Sesajen dan Sirkular Banten: Sebagai wujud persembahan dan keseimbangan alam semesta. 

4. Penyatuan Tali Suci (Pupuan): Mengikatkan benang tri datu (merah, hitam, putih) pada pergelangan tangan mempelai sebagai ikatan sakral.

Meski mempelai pria tidak hadir, pernikahan ini tetap sah secara adat karena telah memenuhi syarat adanya persetujuan kedua keluarga, prosesi dipimpin oleh tokoh adat/Pinandita dan dilengkapi dokumen adat (surat pengesahan dari Banjar/Desa Adat dan PHDI).

Setelah upacara, seluruh berkas dicatat oleh Parisada Hindu Dharma sebagai bukti legalitas pernikahan adat.

“Keluarga besar tetap berdoa agar I Wayan Agus segera menyusul untuk melengkapi prosesi resepsi dan Ngunduh Manten (penjemputan mempelai) ketika situasi memungkinkan,” ujar Ainuddin.

Ainuddin menjelaskan dalam filosofi Bali, pernikahan adalah penyatuan Purusa-Pradana (unsur maskulin-feminin) yang tak hanya fisik, tetapi juga spiritual. Penggunaan keris sebagai pengganti menegaskan bahwa ikatan ini diakui oleh alam, leluhur, dan masyarakat adat.

“Ni Luh Nopianti, dengan ketegaran hati, menjalani prosesi ini sebagai wujud kesetiaan dan keyakinan pada ikatan mereka,” katanya.

Halaman Selanjutnya

Ainuddin menjelaskan, sebelum upacara inti, keluarga mempelai pria beserta tokoh adat (Pinandita atau Pemangku) mendatangi keluarga Ni Luh Nopianti untuk melakukan Mepamit, yaitu prosesi meminta izin secara adat agar mempelai wanita dibawa ke keluarga mempelai pria.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |