Jakarta, VIVA – Dunia kerja terus berkembang, tak hanya dari sisi teknologi dan tren industri, tetapi juga dari pola perilaku karyawan. Salah satu tren baru yang sedang ramai diperbincangkan adalah 'revenge quitting'. Apa itu?
Sesuai namanya, revenge quitting merupakan aksi mengundurkan diri secara tiba-tiba sebagai bentuk balas dendam terhadap perusahaan. Berbeda dengan 'quiet quitting', di mana karyawan perlahan-lahan mengurangi keterlibatan mereka, revenge quitting dilakukan dengan cara yang lebih dramatis dan penuh emosi.
Fenomena ini mendapat perhatian dari banyak ahli, termasuk Gurkaran Singh, seorang pakar HR dari Indore, India. Singh mengatakan, revenge quitting bukan hanya resign biasa, tetapi bentuk protes terhadap ketidakadilan di tempat kerja.
Ketidakpuasan terhadap janji yang tidak ditepati, lingkungan kerja yang toksik, dan kurangnya apresiasi, menjadi faktor utama yang mendorong karyawan untuk keluar secara tiba-tiba.
Apa Penyebab Revenge Quitting?
Ilustrasi: Generasi Z memasuki dunia kerja
Photo :
- Freepik.com//@prostooleh
Melansir dari Economic Times, sejumlah faktor dapat memicu seseorang untuk melakukan revenge quitting, di antaranya:
1. Janji Perusahaan yang Tidak Ditepati
Karyawan yang merasa dijanjikan kenaikan gaji, promosi, atau benefit tertentu tetapi tidak pernah mendapatkannya, cenderung kehilangan kepercayaan pada perusahaan. Jika rasa kecewa ini terus menumpuk, mereka bisa memilih resign dengan cara yang mengejutkan.
2. Lingkungan Kerja Toksik
Micromanagement berlebihan, favoritisme, serta komunikasi yang buruk dapat membuat karyawan merasa tidak dihargai. Bahkan, satu email yang merendahkan, bisa menjadi titik balik bagi seseorang untuk keluar dari pekerjaannya tanpa berpikir panjang.
3. Beban Kerja Berat Tanpa Apresiasi
Banyak karyawan merasa dihargai bukan hanya dari sisi gaji, tetapi juga dari pengakuan atas kerja keras mereka. Jika beban kerja terus bertambah tanpa ada penghargaan atau keseimbangan kehidupan kerja, mereka bisa kehilangan motivasi dan akhirnya memilih resign.
Apa Dampaknya bagi Perusahaan?
Tren revenge quitting ini bukan hanya merugikan karyawan yang keluar, tetapi juga bisa menjadi sinyal bahaya bagi perusahaan. Kehilangan karyawan secara mendadak, dapat menyebabkan gangguan operasional, penurunan produktivitas, dan dampak buruk terhadap reputasi perusahaan.
Sejumlah diskusi di media sosial menyoroti bahwa perusahaan yang gagal memahami dan mengatasi perasaan karyawan berisiko mengalami tingkat turnover yang tinggi. Banyak pekerja yang mengaku memilih keluar karena merasa diabaikan, tidak dihargai, dan kehilangan kepercayaan pada manajemen.
Sebagai respons terhadap tren ini, para pemimpin perusahaan disarankan untuk lebih peka terhadap kebutuhan karyawan, meningkatkan komunikasi, dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat. Mendengarkan keluhan karyawan sebelum mereka merasa perlu membalas dendam, bisa menjadi kunci untuk mempertahankan talenta terbaik.
"Perhatikan, libatkan karyawan Anda, dan ambil tindakan yang berarti sebelum kerusakannya tidak dapat diperbaiki," pesan Singh.
Halaman Selanjutnya
3. Beban Kerja Berat Tanpa ApresiasiBanyak karyawan merasa dihargai bukan hanya dari sisi gaji, tetapi juga dari pengakuan atas kerja keras mereka. Jika beban kerja terus bertambah tanpa ada penghargaan atau keseimbangan kehidupan kerja, mereka bisa kehilangan motivasi dan akhirnya memilih resign.