Jakarta, VIVA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mulai membahas Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Ada beberapa poin penting perubahan dibandingkan dengan KUHAP lama yang dibuat pada tahun 1981.
Penyelesaian Restorative Justice
Salah satunya terkait penyelesaian restorative justice perihal penghinaan terhadap Presiden RI.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman menyatakan pasal penghinaan Presiden RI merupakan pasal yang paling penting untuk diselesaikan melalui restorative justice. Dia menyebut itu merupakan kesepakatan dari seluruh fraksi di Komisi III DPR.
Hal itu disampaikan Habiburokhman merespons isu soal KUHAP baru menyangkut penghinaan Presiden tidak bisa diselesaikan dengan restorative justice. Politikus Partai Gerindra itu pun meluruskan isu tersebut.
“Dengan ini kami sampaikan, kami semua anggota Komisi III lewat para kapoksinya sudah sepakat bahwa tidak benar pengaturan tersebut. Yang benar adalah justru pasal penghinaan Presiden memang harus bisa diselesaikan dengan restorative justice,” kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 24 Maret 2025.
Habiburokhman mengatakan, pasal penghinaan Presiden merupakan varian pasal yang mengatur tentang tindak pidana dengan cara ujaran.
Dia menuturkan ujaran itu misalnya disampaikan dengan spontan dan lisan bisa multi interpretatif. Sebab, seorang ngomong A bisa diartikan B.
"Nah, bahayanya kalau diartikannya itu sebagai pelanggaran hukum penghinaan presiden, karena itu harus bisa ditempuh dengan mekanisme restorative justice dan itu sudah ada di pasal 77, dia tidak dikecualikan,” ujar Habiburokhman.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman
Photo :
- VIVA.co.id/M Ali Wafa
Harus Ada CCTV di Ruang Pemeriksaan dan Penahanan
Habiburokhman mengusulkan dalam RKUHAP agar setiap pemeriksaan oleh aparat penegak hukum (APH) maupun penahanan dilengkapi dengan kamera pengawas atau CCTV. Hal itu untuk mengantisipasi adanya intimidasi oleh penyidik.
“KUHAP baru ini mencegah secara maksimal kekerasan dalam pemeriksaan. Karena di Pasal 31 kami bikin pengaturan bahwa dalam setiap pemeriksaan itu harus ada CCTV dan bahkan di setiap tempat penahanan itu harus ada CCTV,” kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis, 20 Maret 2025.
Dalam draf RKUHAP oleh Komisi III, hal tersebut diatur dalam Pasal 31. Berikut bunyinya:
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat direkam dengan menggunakan kamera pengawas selama pemeriksaan berlangsung
(3) Rekaman kamera pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya untuk kepentingan penyidikan dan dalam penguasaan penyidik
Lalu, ayat selanjutnya, menjelaskan soal rekaman kamera pengawas dapat digunakan untuk kepentingan tersangka, terdakwa, atau penuntut umum dalam pemeriksaan di sidang pengadilan atas permintaan hakim. Ketentuan lebih lanjut bakal diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Advokat Dapat Hak Imunitas
Komisi III DPR sepakat dengan keberadaan hak imunitas yang dimiliki advokat. Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI), Juniver Girsang mengapresiasi Komisi III DPR RI yang menerima usulan pihaknya bahwa advokat mempunyai hak imunitas dalam pembahasan RKUHP.
“Dalam RDPU tadi, kami sangat apresiasi usulan dari Peradi SAI diterima oleh Komisi III, yaitu advokat itu punya hak imunitas, tidak bisa dituntut di dalam dan di luar pengadilan,” kata Juniver di Gedung DPR RI.
Advokat Bisa Dampingi Saksi, Tak Hanya Tersangka
Selain itu, Juniver menyebut dalam RKUHP saat ini lebih maju dari KUHAP sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Menurut dia, RKUHAP yang sedang dibahas ini memberikan peran kepada advokat untuk mendampingi saksi yang menghadapi proses hukum.
“Di mana, tadi sudah dijelaskan yang sangat signifikan adalah saat ini advokat sudah bisa dan wajib mendampingi saksi mulai dari tingkat penyidikan sampai kepada pengadilan," jelas Juniver.
Ilustrasi kursi majelis hakim
Photo :
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Sidang Tak Disiarkan Langsung Tanpa Seizin Hakim
Juniver juga mengusulkan agar RKUHAP melarang media menyiarkan secara langsung persidangan tanpa adanya persetujuan dari hakim ataupun pengadilan.
Juniver mengusulkan, sidang bisa disiarkan secara langsung jika mendapatkan izin dari hakim dengan berbagai pertimbangan.
"Bisa saja diizinkan oleh hakim, tentu ada pertimbangannya. Ini harus clear, jadi bukan berarti advokatnya setelah dari sidang tidak boleh memberikan keterangan di luar. Ini bisa kita baca Ayat (3) ini kan, ‘Setiap orang yang berada di ruang sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan’," ujarnya.
Lebih lanjut, Juniver menjelaskan, usulan itu disampaikan agar siaran langsung tidak mempengaruhi keterangan saksi-saksi dalam persidangan.
Penyidik dan Penyelidikan
RKUHAP mengatur tentang penyidik yang dibagi ke dalam tiga jenis. Hal itu diatur dalam Pasal 6, yaitu penyidik Polri, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan Penyidik Tertentu.
Penjelasannya, PPNS mencakup PPNS Bea Cukai, Imigrasi, Tera, Perikanan, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sementara, Penyidik Tertentu mencakup penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidik Kejaksaan dan penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Dalam Pasal 5, Ayat (1) huruf a menyebut penyelidik berwenang menerima laporan terkait tindak pidana lewat media telekomunikasi atau elektronik.
Pada bagian penjelasan, media komunikasi dan atau media elektronik dimaksud adalah media resmi milik aparat penegak hukum.
“Menerima Laporan atau Pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana baik secara tertulis maupun melalui media telekomunikasi dan/atau media elektronik,” tulis pasal tersebut.
Sebab, dalam KUHAP saat ini hanya mengatur bahwa penyelidik bisa menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
Tak Semua Penyidik Bisa Lakukan Penangkapan dan Penahanan
Dalam draf RKUHAP itu ada pasal yang mengatur tentang penangkapan dan penahanan tersangka oleh penyidik. Hal itu tertuang pada Pasal 87. Hanya penyidik polisi dan beberapa penyidik tertentu saja yang bisa melakukan penangkapan dan penahanan.
Berikut isi lengkap Pasal 87:
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan Penangkapan.
(3) PPNS dan penyidik tertentu tidak dapat melakukan penangkapan kecuali
atas perintah penyidik Polri.
(4) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan bagi penyidik tertentu di Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
Selain itu, Pasal 90 dalam draf RKUHAP mengatur terkait masa penangkapan yang lebih dari satu hari. Namun, KUHAP yang berlaku tidak mengaturnya secara spesifik.
Berikut isi Pasal 90:
(1) Penangkapan dilakukan paling lama 1 (satu) Hari, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.
(2) Dalam hal tertentu, penangkapan dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) Hari.
(3) Kelebihan waktu Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperhitungkan sebagai masa Penahanan.
Halaman Selanjutnya
Source : VIVA.co.id/M Ali Wafa