Jakarta, VIVA - Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto meminta kepada Divisi Propam Polri untuk melakukan penyelidikan secara tuntas terkait kasus dugaan intimidasi yang dilakukan anak buah Kapolda Jawa Tengah, Irjen Ribut Hari Wibowo terhadap grup musik Sukatani.
Jangan sampai, kata Bambang, kasus dugaan intimidasi grup musik Sukatani ini untuk mengalihkan isu terkait anggota kepolisian yang melakukan pemerasan terhadap masyarakat. Awal tahun 2025, anggota polisi diduga memeras warga negara asing (WNA) asal Malaysia saat menonton konser DWP, dan kasus pemerasan anak bos Prodia.
Sebagaimana diketahui, kasus dugaan pemerasan yang dilakukan anak buah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu beberapa di antaranya hanya dilakukan pemecatan saja, atau dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Akan tetapi, sampai sekarang tidak ada kejelasan dan ketegasan dari Kapolri untuk mengusut anak buahnya itu ke ranah hukum pidana terkait pemerasan.
“Propam harus melakukan penyelidikan secara tuntas, bukan normatif prosedural saja yang malah juga bisa memicu asumsi melakukannya pencitraan tanpa menyentuh substansi sebenarnya. Bahkan, hanya dianggap sebagai upaya pengalihan isu dari kasus-kasus pemerasan yang dilakukan personel kepolisian yang sampai saat ini tidak diproses pidana,” kata Bambang kepada wartawan Senin, 24 Februari 2025.
AKBP Bintoro
Photo :
- VIVA.co.id/Aiz Budhi
Maka dari itu, Bambang mengatakan perlu dilakukan penyelidikan dengan SOP harus dimulai dengan Surat Perintah Penyelidikan (SP.Lid) dari atasan. Tujuannya, kata dia, untuk mengetahui perintah siapa personel Direktorat Reserse Siber Polda Jawa Tengah melakukan intervensi terhadap grup musik Sukatani sampai mengejarnya ke Banyuwangi, Jawa Timur.
“Tentunya, mereka tak bertindak tanpa ada perintah atasan. Sesuai Perkap 2/2022 tentang Waskat, atasannya harus diperiksa dan diberi sanksi. Kapolda sebagai institusi harus melakukan klarifikasi,” tegas Bambang.
Sebelumnya diberitakan, dalam kurun dua bulan belakangan ini yakni Januari dan Februari 2025, publik dibuat tercengang dengan perbuatan anggota polisi yang bertugas di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Di mana, anggota Polri itu melakukan dugaan pemerasan terhadap masyarakat, termasuk warga asing (WNA) asal Malaysia.
Pertama, kasus pemerasan yang dilakukan polisi terhadap WNA Malaysia yang menonton konser Djakarta Warehouse Project (DWP) di Kemayoran, Jakarta Pusat. Akibatnya, sejumlah anggota polisi dijatuhi sanksi berat berupa PTDH alias dipecat, di antaranya Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak selaku mantan Direktur Reserse Narkoba Polda Metro.
Baru selesai kasus WNA asal Malaysia, muncul lagi kasus pemerasan yang dilakukan polisi. Diduga, polisi ini memeras anak bos Prodia yang terseret kasus pembunuhan dan pelecehan seksual di Polres Jakarta Selatan. Akibatnya, mantan Kasat Reskrim Polres Jakarta Selatan AKBP Bintoro pun dipecat atas perbuatannya.
Tentunya, dua kasus di atas hanya sebagai contoh barangkali ditindaklanjuti oleh Polri karena menjadi sorotan publik. Mungkin saja, masih ada beberapa kasus lainnya yang dilakukan anggota polisi tapi tidak tersorot masyarakat.
Anehnya, kata dia, proses pidana bagi anggota Polri sebagai pelaku pemerasan tidak juga dilakukan dengan berbagai dalih normatif hingga sekarang oleh Kapolri. Sepertinya, equality before the law tak berlaku bagi personel Polri. Ajaibnya, hal itu terjadi di era Kapolri Jenderal Listyo Sigit.
“Tidak melakukan proses pidana, berarti Polri punya tafsir tersendiri, bahwa bagi polisi pemerasan bukan tindak pidana. Dan itu semua terjadi di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit. Tanpa ada pergantian kepemimpinan Polri, sangat sulit untuk memulai pembenahan institusi ini,” kata Bambang pada Minggu, 9 Februari 2025.
Halaman Selanjutnya
Sebelumnya diberitakan, dalam kurun dua bulan belakangan ini yakni Januari dan Februari 2025, publik dibuat tercengang dengan perbuatan anggota polisi yang bertugas di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Di mana, anggota Polri itu melakukan dugaan pemerasan terhadap masyarakat, termasuk warga asing (WNA) asal Malaysia.