Jakarta, VIVA – Wacana mengenai kebijakan kemasan polos untuk produk tembakau kembali menjadi perhatian dan menimbulkan beragam catatan dari berbagai kalangan. Salah satu kekhawatiran yang mencuat adalah potensi sulitnya membedakan produk legal di pasaran, yang secara tidak langsung bisa membuka celah bagi maraknya peredaran rokok ilegal.
Wakil Ketua Umum (WKU) Bidang Perindustrian Kadin Indonesia, Saleh Husin menegaskan, produsen rokok ilegal berpotensi memanfaatkan kebijakan kemasan polos, untuk memperluas peredaran produknya di pasar. Sebab desain kemasan yang seragam akan membuat produk ilegal semakin sulit dibedakan dari produk legal.
Di sisi lain, konsumen juga akan kesulitan mengenali ciri khas produk yang biasa mereka pilih, sehingga membuka ruang yang lebih lebar bagi produk tiruan beredar tanpa terdeteksi.
"Produsen rokok ilegal dapat dengan mudah menjual produk mereka di pasaran, dan mengancam eksistensi produsen rokok legal. Padahal Industri tembakau di Indonesia merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam pendapatan cukai negara, yang pada 2024 telah menyumbang Rp 216,9 triliun melalui cukai hasil tembakau (CHT)," kata Saleh dalam keterangannya, Jumat, 25 April 2025.
Menteri Perindustrian periode 2014-2016, Saleh Husin.
Photo :
- VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya
Jika hal ini terjadi, ia mengatakan bahwa pengawasan di lapangan bisa menjadi semakin kompleks, sehingga tujuan awal kebijakan untuk menekan konsumsi rokok justru akan sulit tercapai.
Apalagi, pengalaman di sejumlah negara pun memberikan gambaran yang patut menjadi pertimbangan. Di Australia, kebijakan kemasan polos tidak menunjukkan dampak signifikan dalam menurunkan jumlah perokok muda. Sementara, peredaran rokok ilegal justru meningkat tajam dari 182 ton pada 2014 menjadi 381 ton pada 2017.
Kondisi serupa juga terlihat di Prancis, dimana penjualan rokok naik 3 persen pada tahun pertama penerapan. Sementara di Inggris, prevalensi perokok hanya turun 0,4 persen dalam 3 tahun berdasarkan data ONS tahun 2020 lalu.
Jika diterapkan tanpa kesiapan menyeluruh, Saleh khawatir Indonesia berisiko mengalami dampak serupa yang pada akhirnya tidak hanya merugikan melemahkan posisi konsumen, tetapi juga memperlemah posisi industri legal di pasar.
Di Indonesia, data terbaru dari Indodata Research Center mencatat bahwa pada tahun 2024, konsumsi rokok ilegal melonjak hingga 46,95 persen dengan potensi kerugian penerimaan negara yang diperkirakan bisa mencapai Rp 96 triliun per tahun.
"Jadi di Indonesia ini tantangan terkait rokok ilegal juga terus menjadi perhatian, terlebih di tengah wacana kebijakan kemasan polos," ujarnya.
Halaman Selanjutnya
Kondisi serupa juga terlihat di Prancis, dimana penjualan rokok naik 3 persen pada tahun pertama penerapan. Sementara di Inggris, prevalensi perokok hanya turun 0,4 persen dalam 3 tahun berdasarkan data ONS tahun 2020 lalu.