Komisi III Kaji Sejumlah Hal Krusial dalam RUU KUHAP

7 hours ago 3

Jakarta, VIVA - Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta memberikan catatan terkait Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) atau biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut dia, dalam RUU KUHAP terdapat beberapa hal krusial yang menjadi perubahan dan akan menjadi bahan untuk dikaji lebih jauh.

Kata dia, rencana pembentukan RUU HAP ini memang mengikuti peta jalan pembaruan Hukum Pidana Nasional yang telah melahirkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Memang, ia mengakui dalam KUHP itu sendiri banyak terjadi pengaturan yang baru dan penerapan prinsip-prinsip baru dalam Hukum Pidana. 

“Sehingga, pembaruan KUHAP juga tentu perlu untuk dilakukan penyesuaian. Agenda reformasi dan kodifikasi hukum pidana tersebut pada akhirnya mampu 'melepaskan diri' dari pengaruh aturan kolonial Pemerintah Hindia Belanda. Prinsip-prinsip baru dalam hukum pidana tercermin dalam aturan KUHP baru tersebut, antara lain demokratisasi, dekolonisasi, modernisasi, harmonisasi dan yang terbaru tentunya adalah pergeseran makna keadilan,” kata Wayan melalui keterangannya pada Senin, 3 Maret 2025.

Anggota DPR RI Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta

Kemudian, Wayan mengatakan pinsip keadilan retributif kini juga mengarah pada keadilan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif. Artinya, hukum pidana kini tidak hanya digunakan untuk mengendalikan kejahatan atau pelanggaran pidana (crime control). “Namun, juga sebagai jalan untuk merestorasi keadaan di masyarakat secara lebih adil,” ujar Anggota Fraksi PDI Perjuangan ini.

Adapun, Wayan mengatakan dalam RUU KUHAP terdapat beberapa hal krusial yang menjadi perubahan dan akan menjadi bahan untuk dikaji lebih jauh lagi di antaranya penyesuaian dengan perkembangan hukum di masyarakat.

Menurut dia, berlakunya UU KUHP pada tahun 2026, dan peraturan perundang-undangan lain terkait seperti UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU KPK, atau undang-undang terkait lainnya, melahirkan berbagai perkembangan dalam asas dan filosofi. 

“Penyesuaian ini juga dilakukan terhadap konvensi internasional, seperti Konvensi Anti Kekerasan, Hak Politik dan Sosial (ICCPR), Anti Korupsi (UNCAC), atau berbagai prinsip hukum umum yang telah diakui dan menjadi bagian dari sistem hukum nasional,” jelas dia.

Wayan mengatakan modernisasi acara pidana itu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi perkembangan dalam membuat sistem yang lebih cepat, mudah, dan terukur. Modernisasi juga dilakukan terhadap filosofi hukum modern yang lebih mengutamakamn pelindungan HAM dan kepatuhan terhadap prosedur atau peraturan perundang-undangan dan hukum (due process of law).

“Penyesuaian terhadap sistem pemidanaan (sesuai dengan KUHP). KUHAP perlu untuk menyesuikan dengan perkembangan sistem pemidanaan dalam KUHP seperti pidana mati bersyarat, pidana kerja sosial, pidana pengawasan, pidana adat maupun segala tindakan yang telah diatur dalam KUHP,” ujarnya.

Kemudian, kata Wayan, penerapan mekanisme keadilan restoratif atau penyelesaian di luar pengadian. Menurut dia, keadilan restoratif telah diamanatkan dalam UU KUHP, namun hingga saat ini belum memiliki aturan pendukung dan pelaksanaannya. Berbagai kajian akademis dan ilmiah mendukung pernyataan, bahwa restorative justice membutuhkan instrumen kebijakan pelaksana untuk menjamin implementasi, transparansi, dan akuntabilitasnya.

Dalam KUHAP, kata dia, restorative justice dapat diatur lebih lanjut terkait prinsip, mekanisme, tahapan, dan batasannya yang disesuaikan dengan KUHP atau aturan pidana lainnya. Selama ini, restorative justice dipahami sebagai alternatif penyelesaian perkara di luar persidangan. Namun lebih dari itu, restorative justice lebih merupakan filosofi. 

Oleh sebab itu, lanjut Wayan, dalam KUHAP ini restorative justice harus menjadi prinsip utama bersama keadilan rehabilitatif dan restitutif atau prinsip keadilan yang tidak hanya mengutamakan retributif atau pengendalian kejahatan. Lalu, restorative justice harus dijadikan salah satu prinsip utama untuk penanggulangan kejahatan.

“KUHAP nantinya dapat menentukan penyelesaian di luar peradilan, namun tentu tetap tercatat sebagai tindak pidana (Criminal Record) bersamaan dengan mekanisme penetapannya,” ungkapnya.

Kemudian, keseimbangan dalam sistem acara pidana (Inquisitorial menuju Adversarial). Penguatan hak dan pelindungan terhadap tersangka, saksi, dan korban. Asas praduga tak bersalah diperluas lebih jauh dengan memberikan kesempatan bagi seseorang untuk membela kepentingan hukumnya. “Dalam RUU KUHAP ini juga terdapat penguatan hak perempuan, penyandang disabilitas, lanjut usia, atau kaum rentan yang berhadapan dengan hukum,” katanya.

Penguatan peran advokat, Wayan berharap KUHAP dapat menguatkan peran advokat dalam memberikan pendampingan hukum terhadap seseorang di seluruh tahapan pidana. Advokat maupun bantuan hukum, kata dia, seyogyanya harus diberikan pada setiap tahap peradilan pidana dan secara fundamental menjadi hak dari seorang warga negara, sesuai dengan hak konstitusionalnya.

“Selama ini, banyak pihak meragukan proses hukum, terutama dari pemanggilan terhadap saksi, pelaporan, hingga penyidikan, yang seringkali dilakukan tanpa pendampingan. Hal ini bahkan menyebabkan seseorang justru berhadapan dengan hukum. Oleh sebab itu, KUHAP perlu untuk mengatur hak dan kewajiban pendampingan hukum oleh Advokat. Peran advokat tidak boleh dikurangi dalam proses hukum untuk memastikan hak seseorang dan kepentingannya tidak tereduksi,” katanya lagi.

Berikutnya, pengaturan terkait dengan upaya paksa. Wayan berharap RUU KUHAP dapat memberi kepastian hukum terhadap hak seseorang, namun juga secara limitatif diatur agar tidak memberi beban kepada badan peradilan. Misalnya, perlu limitasi waktu penahanan. Dalam KUHAP ini, diharapkan akan memberikan pembatasan terhadap lama penahanan seiring dengan kemajuan di bidang perhubungan dan teknologi. 

“Demikian pula, penahanan terhadap seseorang juga harus didasari dengan faktor-faktor yang diyakini urgen atau bahwa seseorang memang perlu dilakukan penahanan. KUHAP saat ini seharusnya dapat mengatur bahwa seseorang tidak harus dilakukan penahanan, kecuali dalam keadaan tertentu. KUHAP harus dapat sejauh mungkin mengatur tentang kriteria penahanan terhadap seseorang secara subyektif, atau mengedepankan obyektivitas atau alternatif penjaminan,” jelas Wayan.

Selain itu, Wayan mengatakan penangguhan penahanan dapat menjadi salah satu jalur pendekatan utama untuk menghindari penahanan yang berlebihan. Jaminan harta, misalnya dapat diterapkan terutama terhadap pelaku dugaan tindak pidana ekonomi. KUHAP harus dapat mengatur pula akuntabilitasnya.

Lalu, upaya paksa penyitaan dan penggeledahan ini juga perlu diatur secara jelas dan tegas serta limitatif. Upaya paksa penyitaan dan penggeledahan di lapangan seringkali menimbulkan permasalahan. Bahkan, hal ini kerap melanggar hak asasi seseorang karena harta atau benda yang seharusnya tidak berhubungan dengan dugaan tindak pidana dilakukan sita oleh penegak hukum. 

“Serta penangkapan. Sebagaimana limitasi terkait dengan penahanan, maka pada prinsipnya penangkapan juga tidak boleh sampai berlarut-larut. Penetapan status hukum seseorang harus dilakukan segera dan memungkinkan untuk dilakukan berbagai pengajuan hak, termasuk pelindungan saksi dan korban, pelindungan hukum, maupun mekanisme RJ,” katanya.

Kemudian, Wayan mengatakan hal lain yang masih perlu diatur dalam KUHAP karena masih muncul perdebatan di lapangan seperti penyadapan, pengelolaan barang sita dan rampasan yang saat ini dilakukan oleh Penuntut Umum dalam rangka memudahkan eksekusi maupun pengembaliannya terhadap terdakwa (dalam hal diputus demikian). Hal ini harus dipastikan untuk dapat menjamin seluruh akuntabilitas publik terimplementasi.

“Selain itu, pengawasan terhadap upaya paksa (biro pengawasan penyidikan), serta pengaturan mengenai plea bargaining. Sistem plea bargaining dinilai dapat mempercepat proses hukum dan menjadi alasan meringankan bagi pelaku yang mengakui kesalahan dan berupaya untuk memulihkan keadaan. Plea bargaining menjadi jalan pula bagi perkara tindak pidana yang tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan,” katanya.

Terakhir, kata Wayan, konsep hakim komisaris atau hakim pemeriksa pendahuluan telah ada dalam draf RUU KUHAP sebelumnya. Menurut dia, konsep hakim komisaris bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia dan mempermudah proses pidana, yang seringkali terhambat dalam berbagai tahapan proses pidana yang dilakukan oleh aparat berbeda instansi, misalnya penyidik (Polri) dan penuntut umum (Kejaksaan) atau dengan pengadilan. 

“Konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini mendapatkan reaksi pro dan kontra, karena dianggap dapat memberikan kontrol berlebihan dari pihak peradilan yang kini seringkali dipengaruhi oleh mafia peradilan. Pengaturan ini memerlukan kajian yang lebih dalam atau lebih jauh tentang penerapannya, sehingga tidak kemudian menjadi kontraproduktif atau penyalahgunaan kewenangan,” kata Wayan.

Dengan demikian, Wayan berharap KUHAP dapat mencerminkan pelaksanaan KUHP yang lebih restoratif, rehabilitatif, restitutif, dan mencerminkan keadilan yang susbtantif dan proporsional.

“Kini, saatnya reformasi hukum pidana nasional dapat dijalankan secara penuh dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. KUHP dan KUHAP yang komprehensif akan dapat melindungi seluruh kepentingan bangsa dan negara,” pungkasnya.

Halaman Selanjutnya

“Penyesuaian ini juga dilakukan terhadap konvensi internasional, seperti Konvensi Anti Kekerasan, Hak Politik dan Sosial (ICCPR), Anti Korupsi (UNCAC), atau berbagai prinsip hukum umum yang telah diakui dan menjadi bagian dari sistem hukum nasional,” jelas dia.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |