Jakarta, VIVA – Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Sapto Priyanto, mengatakan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini bisa membuat angka kriminalitas meningkat.
"PHK massal itu kemungkinan besar berdampak pada kriminalitas yang tinggi, karena ketika seseorang tidak punya pekerjaan dan tidak punya penghasilan, sangat dimungkinkan menjadi pelaku kejahatan atau kriminal umum dengan motif ekonomi," kata Sapto, saat dihubungi, Selasa, 3 Juni 2025.
Menurut Sapto, faktor ekonomi memang bisa menjadi penyebab utama terjadinya kriminalitas seperti pencurian, perampokan, dan lain sebagainya. Karena itu, PHK massal sangat mungkin memicu kriminalitas. "Artinya, kejahatan-kejahatan yang bermotif ekonomi itu kemungkinan besar akan muncul," ujar dia.
Kendati begitu, Sapto menambahkan, seseorang tidak serta-merta melakukan tindakan kriminal lantaran faktor ekonomi. Ada juga faktor tempat tinggal yang ikut mempengaruhinya. Sebagai contoh, kota besar atau sekitarnya memiliki risiko angka kejahatan yang tinggi karena biaya hidup di sana tinggi.
"Tapi kalau di perkampungan atau pedesaan, karena mungkin biaya hidup di sana lebih rendah, jadi mereka yang menjadi pengangguran masih bisa bertani, berkebun, atau punya kegiatan lain yang positif sehingga mereka tidak menjadi pelaku kriminal," ucapnya.
Sapto juga menjelaskan keterkaitan antara PHK massal, kemiskinan, dan potensi tumbuhnya radikalisme atau terorisme di masyarakat. Menurut dia, PHK massal memang bisa mendorong bertambahnya angka kemiskinan. Namun, kemiskinan tidak lantas memicu radikalisme atau terorisme.
"Akar masalah terorisme di Indonesia itu bukan masalah ekonomi. Kalau misalnya orang menjadi radikal atau teroris karena faktor ekonomi, berarti hampir semua orang yang katakanlah berpenghasilan rendah atau miskin bisa menjadi teroris. Faktanya kan tidak seperti itu," kata Sapto.
Meski demikian, Sapto tidak menampik kemiskinan bisa saja mendorong terorisme atau radikalisme jika didukung faktor-faktor lain. "Kemiskinan saja tidak bisa menyebabkan orang menjadi pelaku teror. Jadi, bukan kemiskinan saja. Artinya, kelompok teroris bisa memanfaatkan orang-orang yang miskin untuk menjadi radikal atau teroris," ujar dia.
Di sisi lain, Sapto menganggap berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan pihak-pihak terkait untuk mencegah radikalisme dan terorisme sudah cukup baik. Apalagi sudah ada Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE).
"Yang saya lihat, pencegahan itu yang melakukan bukan hanya pemerintah saja, dalam hal ini BNPT. Tapi juga sudah ada sinergisitas dengan kementerian lainnya dan beberapa LSM yang punya program-program terkait. Artinya, bahwa memang pemerintah sudah melakukan upaya yang optimal dalam mencegah radikalisme," ucapnya.
Sebelumnya, Partai Buruh dan Koalisi Serikat Pekerja mencatat sudah ada 70 ribu PHK massal sejak awal tahun 2025. Sementara Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memprediksi angka PHK sepanjang 2025 bisa mencapai 250 ribu orang.
Halaman Selanjutnya
Meski demikian, Sapto tidak menampik kemiskinan bisa saja mendorong terorisme atau radikalisme jika didukung faktor-faktor lain. "Kemiskinan saja tidak bisa menyebabkan orang menjadi pelaku teror. Jadi, bukan kemiskinan saja. Artinya, kelompok teroris bisa memanfaatkan orang-orang yang miskin untuk menjadi radikal atau teroris," ujar dia.