Jakarta, VIVA – Pondok pesantren berpotensi menjadi penggerak peradaban dunia Islam dapat ditinjau, antara lain berdasarkan kiprah santri dan pesantren dalam pembangunan nasional serta pengembangannya sebagai agen mobilitas sosial dan vertikal.
Hal itu dipaparkan Amich Alhumami, Deputi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, dalam Konferensi Internasional Transformasi Pesantren pada hari kedua (25/06) di Jakarta.
Diselenggarakan Dewan Syuro DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Hotel Grand Sahid Jakarta, 24-26 Juni 2025, menurut Amich pada Konferensi itu, kiprah dan pengembangan tersebut semakin kuat berdasarkan fakta Arab Spring yang berkepanjangan serta potensi populasi Muslim Indonesia terbesar di dunia.
“Indonesia dapat menjadi lahan subur pertumbuhan kaum intelegnsia Muslim terbesar di dunia, pada gilirannya berpotensi menjadi penggerak peradaban dunia Islam” seru Amich Alhumami pada topik pembahasannya tentang “Pesantren sebagai Pusat Peradaban dan Agen Perubahan Sosial: Strategi dan Tantangannya”.
Kiprah santri dan pesantren dalam pembangunan nasional tergambarkan secara kuat dari peran pondok pesantren dalam meneguhkan kebhinnekaan dan agen transformasi sosial.
“Pada kontribusi meneguhkan kebhinnekaan, santri memiliki posisi sentral dan peran strategis dalam menjaga semangat kebangsaan dan mengukuhkan kebhinekaan melalui sifat mandiri, bersahaja, egaliter, tawaduk, moderat, inklusif, dan semangat berkorban,” terang Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) 2025-2027 ini.
Adapun kontribusi sebagai agen transformasi sosial, dunia pesantren telah melahirkan santri-santri yang mampu dan telah bertransformasi menjadi kekuatan kelas menengah muslim.
“Mereka juga telah banyak terlibat dalam pembangunan sosial-ekonomi; penguatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat; juga menjadi pelopor pemberdayaan ekonomi umat,” lanjut alumni Pondok Pesantren Maskumambang Gresik ini.
Deputi PMK Amich Alhumami bersama Dewan Syuro DPP PKB Anis Maftuhin
Pengembangan pesantren sebagai agen mobilitas sosial dan vertikal, terangkum dalam anatomi kekuatan dan peran pesantren. Hal ini, kata Amich Alhumami, tampak pada mobilitas sosial pesantren berupa geneologi intelegensia Muslim serta mobilitas vertikal yang tercermin dari kiprah para santri mengisi posisi politik dan jabatan publik.
“Mobilitas sosial dan vertikal ini dapat diidentifikasi sebagai formasi sosial baru dunia pesantren. Formasi tini menggambarkan anatomi peran dan pengembangan pesantren pada fungsi sosial, pendidikan, ekonomi, politik, dan budaya,” cetus Ketua Gugus Kerja Manajemen Talenta Nasional (MTN) ini.
Di bidang sosial, terciptanya jaringan ulama dan pertalian kekerabatan. Di bidang pendidikan, berupa pembentukan Muslim terpelajar serta formasi kelas menengah terdidik. Di bidang ekonomi, terciptanya akses sumber daya ekonomi serta penguasaan dan pengelolaan aset produktif.
Adapun di bidang politik, terciptanya akses kekuasaan negara, pengelolaan sumber daya politik, serta posisi birokrasi pemerintah. Di bidang budaya, adanya pertumbuhan pelaku budaya dan pekerja seni yang menekuni khazanah budaya lokal yang kompatibel dengan nilai-nilai keislaman dan budaya nasional, termasuk konsolidasi dan pengorganisasian di bidang ini.
Dari berbagai bidang tersebut, dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2025-2029, sebut Amich Alhumami, kebijakan tentang pondok pesantren diarahkan untuk memperkuat peran pesantren sebagai lembaga pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
Pada fungsi lembaga pendidikan, kebijakannya mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan pesantren dengan meningkatkan sarana dan prasarana pesantren yang berkualitas dan merata, serta meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan di pesantren.
Kebijakan lainnya, lanjut Amich, mencakup penguatan penjaminan mutu layanan pendidikan pesantren dengan memperkuat asesmen satuan pendidikan pesantren; mengembangkan sistem informasi data pendidikan pesantren; serta penguatan kualitas dan rekognisi lulusan pesantren dengan menyetarakan kualifikasi para alumninya dengan pendidikan umum yang setara.
“Yang tak kalah pentingnya: mengembangkan skema rekognisi ijazah bagi lulusan pendidikan nonformal pesantren serta advokasi kepada Dunia Usaha dan Dunia Industri Kerja (Dudika) dalam pengakuan kesetaraan lulusan pendidikan pesantren,” paparnya.
Adapun fungsi pesantren sebagai lembaga dakwah, lanjut Amich Alhumami, berupa penguatan moderasi beragama di pesantren untuk mendukung syiar agama yang membawa kemaslahatan; peningkatan peran pesantren dalam penyelenggaraan layanan keagamaan; serta pengembangan pesantren sebagai pusat kajian keagaman Islam di tingkat dunia.
Pada fungsi sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat, berupa dua kebijakan pokok. Pertama, sebut Amich, optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan dana sosial keagamaan untuk pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan; seperti zakat, infak, shadaqah, wakaf, dan industri halal.
“Berikutnya, optimalisasi potensi lokal dan kemitraan strategis pesantren sebagai pusat pengembangan ekonomi lokal yang mandiri dan berdaya saing,” terang Amich, yang juga Sekretaris Eksekutif Center for Policy and Development Studies (CPDS) 1990–1995, wadah pemikir yang kala itu disponsori oleh Dewan Pembina Mayjen TNI Prabowo Subianto.
Kajian Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia (DEKS BI) 2021—diolah Indonesiasentris Foundation 2022—mencatat: kontribusi industri halal terhadap perekonomi nasional sangat berarti. Pasar industri halal terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia meningkat dari 24,3 persen pada 2016 menjadi menjadi 24,86 persen pada 2020.
Uniknya sepanjang 2020, tahun pandemi covid-19, Indonesia menjadi eksportir terbesar kelima di antara negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) dengan proporsi sebesar 9,3 persen senilai USD 34 miliar atau Rp 483 triliun. Nilai transaksi ini setara dengan 17 persen dari total ekspor bahan makanan halal global yang tembus USD 200 miliar.
Meski demikian, kontribusi industri halal terhadap perekonomian nasional dan volume jumbo ekspornya tidak sebanding dengan produktivitas industri halal. Indonesia menjadi negara konsumtif terbesar industri halal dunia.
State of Global Islamic Economic Report 2019-2021 melaporkan: total konsumsi produk halal Indonesia pada 2019 tembus sebesar USD 220 miliar. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai konsumen produk halal terbesar dari total USD 1,37 triliun belanja produk halal dunia.
Menurut KH. Anis Maftuhin (Gus Anis), Anggota Dewan Syuro DPP PKB, fungsi pesantren selama ini masih condong pada pendidikan dan dakwah; belum kepada fungsi pemberdayaan masyarakat yang tercermin dari produktivitas ekonomi pesantren.
Oleh karenanya, anggota steering committee (SC) Konferensi Internasional Transformasi Pesantren ini mengusulkan agar DPP PKB dapat bekerjasama dengan Kementerian PPN/Bappenas, untuk mengorkestrasi program ekonomi pesantren sebagaimana yang menjadi salah satu isi rekomendasi dari Konferensi ini berupa kemandirian ekonomi pesantren.
Selama ini, kata Gus Anis, program ekonomi pesantren tersebar di lintas Kementerian/Lembaga, belum terintegrasi, sehingga pendanaan dari pemerintah yang ditebar ke seluruh pesantren menjadi kurang produktif dan kurang transparan.
“Contohnya, pada kebutuhan sertifikasi berbagai jenis keahlian kalangan santri. Bappenas selaku otoritas perencanaan nasional menjadi tambatan untuk mengorkestrasinya,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Wali, Candirejo, Kab Semarang ini.
Halaman Selanjutnya
Source : istimewa