Jakarta, VIVA – Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum (Kemenkum) Razilu menegaskan bahwa pembayaran royalti merupakan tanggung jawab penyelenggara acara, bukan penyanyi ataupun musisi.
Penegasan itu disampaikan Razilu saat membacakan keterangan Pemerintah dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Senin.
Razilu mengatakan setiap penggunaan lagu untuk tujuan komersial memerlukan izin atau pembayaran royalti. UU Hak Cipta mengamanatkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai perantara satu pintu mengenai hal itu.
Berdasarkan Pasal 23 ayat (5) dan Pasal 87 UU Hak Cipta, imbuh dia, pengguna layanan publik bersifat komersial cukup membayar royalti satu kali secara terpusat melalui LMKN, kemudian didistribusikan kepada pencipta dan pemilik hak terkait.
“Untuk pengenaan tarif royalti konser telah ditetapkan secara jelas, minimal 2 persen dari hasil kotor penjualan tiket. Untuk tanggung jawab pembayaran ada pada penyelenggara, acara, atau pemilik tempat usaha, bukan penyanyi atau musisi, kecuali mereka juga adalah sebagai penyelenggara,” tuturnya.
Razilu menambahkan, setelah pembayaran royalti melalui LMKN, pengguna hak cipta tidak memerlukan izin langsung dari pencipta atau pemegang hak cipta.
Di sisi lain, Pasal 81 UU Hak Cipta juga membuka kemungkinan adanya mekanisme lisensi langsung (direct licensing) jika pencipta tidak mengikuti sistem lisensi menyeluruh (blanket license) melalui LMK atau LMKN.
Namun demikian, masih kata Razilu, Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta sejatinya mendorong pencipta menjadi anggota LMK untuk menarik imbalan yang wajar dari penggunaan komersial di layanan publik.
Dia menjelaskan bahwa LMK berfungsi sebagai institusi nirlaba yang mengelola hak ekonomi, menghimpun, dan mendistribusikan royalti. Dalam kata lain, LMK merupakan jembatan antara pencipta dan pengguna hak cipta.
Menanggapi keterangan Razilu, Hakim Konstitusi Arsul Sani mempertanyakan batasan bagi pencipta untuk melaksanakan sendiri lisensi langsung yang diatur dalam Pasal 81 UU Hak Cipta. Arsul meminta Pemerintah menjelaskan lebih lanjut mengenai ihwal lisensi langsung dimaksud.
"Ketika dia ada dalam pilihan yang melaksanakan sendiri itu, apakah dia kemudian bisa bikin aturan-aturan sendiri terkait dengan besarannya misalnya, ya? Semau gue, lah. Atau yang lain misalnya, ‘Kalau saya kelola sendiri, kalau terhadap penyanyi A, B, C, D karena enggak ada masalah dengan saya, saya kasih, tapi saya melarang kalau misalnya D, E, F yang mau minta’,” kata Arsul.
Pada Senin ini, Mahkamah menggelar sidang lanjutan untuk Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 dan Nomor 37/PUU-XXIII/2025 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden.
Perkara Nomor 28 dimohonkan oleh musisi Tubagus Arman Maulana (Armand Maulana), Nazril Irham (Ariel NOAH), serta 27 musisi kenamaan lainnya, sementara Perkara Nomor 37 diajukan oleh grup musik Terinspirasi Koes Plus (T’Koes Band) serta “lady rocker pertama” Saartje Sylvia.
Salah satu latar belakang Armand Maulana dkk. mengajukan perkara ini, yaitu kasus yang dialami penyanyi Once Mekel. Mantan vokalis grup musik Dewa itu dilarang membawakan lagu-lagu Dewa. Jika pun Once tetap membawakan lagu Dewa, ia mesti mendapatkan izin dan membayar royalti secara langsung kepada pencipta lagu.
Sementara itu, T’Koes Band dan Saartje Sylvia mengadu ke MK karena pengalamannya dilarang mementaskan lagu-lagu karya Koes Plus per tanggal 22 September 2023. Larangan itu dikeluarkan oleh para ahli waris dari Koes Ploes. (Ant)
Halaman Selanjutnya
Dia menjelaskan bahwa LMK berfungsi sebagai institusi nirlaba yang mengelola hak ekonomi, menghimpun, dan mendistribusikan royalti. Dalam kata lain, LMK merupakan jembatan antara pencipta dan pengguna hak cipta.