Aktivis dan Kepala Taman Nasional Komodo Ricuh Gegara Privatisasi Pantai Labuan Bajo

2 hours ago 1

Selasa, 29 April 2025 - 00:06 WIB

Manggarai Barat, VIVA – Kericuhan terjadi di ruang sidang paripurna DPRD Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, pada Senin, 28 April 2025. Baku pukul antara aktivis dan Kepala Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), Hendrikus Rani Siga, mewarnai Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang membahas privatisasi pantai di Labuan Bajo.

Keributan bermula saat Hendrikus memberikan penjelasan terkait pembangunan di Taman Nasional Komodo. Namun, penjelasan tersebut tiba-tiba dipotong oleh seorang aktivis bernama Ahang, yang protes karena merasa penjelasan Hendrikus tidak substansial.

Hendrikus kemudian turun dari podium dan menghampiri Ahang sambil berteriak, "Anda ini seperti preman. Diam kau!"

Situasi semakin memanas, ketika Hendrikus dan Ahang saling menantang untuk berhadapan langsung, emosi keduanya meledak-ledak. Keduanya tampak bersiap untuk baku pukul. Namun aksi tersebut segera dicegah oleh orang-orang di sekitar mereka. Meskipun telah dipisahkan, keduanya masih terus saling ejek selama beberapa saat.

Akibat keributan ini, rapat yang dipimpin oleh Ketua DPRD Manggarai Barat, Benediktus Nurdin itu diskorsing selama 30 menit.

Tuntutan Aktivis

Diketahui RDP ini digelar atas usulan dari sejumlah aktivis Lingkungan di Labuan Bajo.

Ketua Ikatan Sarjana Katolik (IKSK) Cabang Manggarai Barat, Bernadus Barat Daya, menyebut permasalahan Sempadan Pantai dan Privatisasi Ruang Laut adalah kesalahan pemerintah pusat dan pemda.

Hal itu dikatakan Barat Daya saat RDP itu yang dihadiri sejumlah pimpinan OPD sebelum keributan Hendrikus dan Ahang terjadi.

Menurut Bernadus Barat Daya, kekesalan para aktivis mencuat lantaran maraknya hotel yang melakukan privatisasi pantai dan ruang laut di Labuan Bajo.

Bernadus menjelaskan bahwa selama ini  pemerintah Kabupaten Manggarai Barat selalu melemparkan kesalahan ke pemerintah pusat.

“Ketika ditanya soal ijin mendirikan bangunan pemerintah daerah selalu beralasan bahwa pemerintah daerah hanya menjalankan perintah karena izinnya ada di pusat. Seharusnya pemerintah Kabupaten Manggarai Barat yang merupakan pemilik wilayah harus tegas dalam menyikapi hal ini,” katanya.

"Yang punya wilayah kan pemerintah daerah. Harusnya mereka tegas. Meskipun sudah ada ijin dari pemerintah pusat. Tetapi yang eksekusi di lapangan kan, pemerintah daerah," lanjutnya.

Menurutnya, pemerintah Kabupaten Manggarai Barat perlu mengambil sikap tegas terhadap privatisasi pantai dan ruang laut yang berdampak negatif pada keberlanjutan pariwisata Labuan Bajo.

Ia menambahkan, meskipun sekarang proses perizinan menggunakan sistem Online Single Submission (OSS), tetapi Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat mesti tetap jeli memperhatikan AMDAL dan tata ruang wilayah sebuah bangunan.

Kegiatan RDP itu dihadiri oleh beberapa organisasi masyarakat, di antaranya, Perhimpunan Mahasiswa Katolik [PMKRI] Cabang Labuan Bajo, LSM LPPDM, Formap Manggarai Barat, Forum Masyarakat Bersama Manggarai Barat, dan perwakilan Aktivis Lingkungan, Pater Marsel Agot dan Doni Parera.

Pihak pemerintah yang hadir antara lain Sekretaris Daerah Fransiskus S. Sodo, para kepala dinas, dan Kepala Kantor ATR/BPN Gatot Suyanto.

Setiap perwakilan ormas diberi kesempatan menyampaikan pendapat. Mereka menuntut DPRD Manggarai Barat untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk melakukan investigasi privatisasi pantai dan ruang laut di wilayah Labuan Bajo Manggarai Barat.

Rafael Taher, Ketua Formap Manggarai Barat, mendesak DPRD Manggarai Barat untuk melakukan investigasi menyeluruh terkait proses perizinan pembangunan hotel yang menyebabkan privatisasi pantai dan ruang laut.

"Harus ada investigasi menyeluruh. Ada gratifikasi di bawah (Hotel hotel) itu. Ada 11 hotel yang pada tahun 2017 mendapatkan sanksi denda. Tapi tidak jelas juga. Kami tanya ke salah satu pemilik hotel soal luas bangunan mereka. Kami tanya batas tanah mereka ke pantai berapa meter. Pemilik hotel bilang, 100 meter. Tetapi bangunan mereka sudah sampai ke bibir pantai. Saya tanya proses ijinnya bagaimana. Apakah HGU, SHM atau apa?  Pemiliknya bilang, tidak tahu. Nah, ini pasti ada gratifikasi. Untuk itu, kami minta DPRD lakukan investigasi menyeluruh. Harus ada temuan. Sampaikan ke Kepolisian, Kejaksaan dan KPK," papar Rafael.

Laporan: Jo Kenaru/ NTT

Halaman Selanjutnya

Hal itu dikatakan Barat Daya saat RDP itu yang dihadiri sejumlah pimpinan OPD sebelum keributan Hendrikus dan Ahang terjadi.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |