Dari Mesin Pencari ke Media Sosial: Bagaimana Konsumen Mengakses Informasi?

1 week ago 7

VIVA – Perilaku manusia dipengaruhi oleh berbagai stimulus yang mereka terima dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, hingga perabaan. Setiap stimulus ini membentuk pola perilaku yang kemudian dianalisis oleh pasar untuk memahami bagaimana manusia memproses informasi, mulai dari penyimpanan di otak hingga tahap pengambilan keputusan.

Seiring perkembangan zaman, perilaku konsumen pun turut berubah, terutama didorong oleh kemajuan teknologi dan peristiwa besar seperti pandemi. Di zaman serba cepat kepraktisan menjadi sebuah senjata. Mulai dari kuliner, fashion, transportasi, teknologi berlomba menawarkan kemudahan untuk menunjang kehidupan manusia yang semakin dinamis dan berpacu dengan waktu.

Salah satu fenomena menarik adalah bergesernya pola pencarian informasi dari mesin pencari ke platform video pendek seperti TikTok. Dahulu, konsumen terbiasa mengetik kata kunci dan menelusuri berbagai laman hasil pencarian. Kini, mereka cenderung mencari informasi melalui video pendek yang telah dikemas secara visual menarik dan langsung pada intinya.

Fenomena ini paling menonjol di kalangan Generasi Z, kelompok yang dikenal cepat beradaptasi dengan teknologi dan menjadi target utama pasar digital saat ini. Alih-alih mengetik kata kunci di mesin pencari, mereka lebih memilih mencari referensi melalui video pendek yang menyajikan visual dinamis dan audio yang catchy. Tren ini diperkuat oleh survei dari Adobe yang mengungkapkan bahwa 41% responden kini menggunakan TikTok sebagai mesin pencari, dengan 64% di antaranya berasal dari Gen Z. Mereka lebih cenderung mencari informasi sehari-hari seperti resep masakan, tips DIY, destinasi wisata, hingga ulasan produk melalui TikTok karena format kontennya yang singkat dan visual. Konten video pendek, meme, dan cerita singkat menjadi favorit karena sesuai dengan gaya hidup mereka yang serba cepat dan dekat dengan internet.

Meskipun pergeseran ini paling dominan di kalangan Gen Z, generasi milenial juga mulai beradaptasi dengan tren yang sama. Data menunjukkan bahwa 49?ri generasi milenial kini menggunakan TikTok sebagai sumber informasi. Survei Adobe terhadap lebih dari 800 konsumen dan 250 pemilik bisnis juga menemukan bahwa 40% konsumen secara keseluruhan telah mengandalkan TikTok untuk mencari berbagai informasi.

Temuan ini menunjukkan bahwa preferensi pencarian berbasis video pendek tidak lagi eksklusif bagi Gen Z, melainkan telah meluas ke generasi lainnya. Pergeseran pola konsumsi informasi ini menjadi sinyal bagi brand dan pemasar untuk menyesuaikan strategi konten mereka agar tetap relevan serta mampu menjangkau audiens dari berbagai kelompok usia.

Video Pendek, Sang Primadona Pemasaran Digital

Konten video pendek kini telah menjadi primadona dalam strategi pemasaran digital. Perubahan kebiasaan individu dalam mengonsumsi informasi dan berinteraksi dengan brand bukan hanya mencerminkan pola perilaku, tetapi juga menyajikan data berharga bagi perusahaan.

Video berdurasi di bawah 90 detik, seperti yang populer di TikTok terbukti efektif dalam menarik perhatian audiens yang memiliki rentang perhatian semakin pendek. Konten jenis ini menghasilkan tingkat keterlibatan lebih dari dua kali lipat dibandingkan video berdurasi panjang, dan memainkan peran signifikan dalam memengaruhi keputusan pembelian konsumen.

Tren seperti personalisasi konten, pemasaran berbasis komunitas, serta User-Generated Content (UGC), kini semakin mendominasi strategi digital marketing. Hal ini sejalan dengan teori types of memory yang dikemukakan Michael R. Solomon dalam bukunya "Consumer Behavior: Buying, Having, and Being". Solomon menjelaskan bahwa proses memori manusia terdiri dari lima tahap utama: Sensory Memory (Memori Sensorik), Attention (Perhatian), Short-Term Memory (Memori Jangka Pendek), Elaborative Rehearsal (Pengulangan Elaboratif), hingga Long-Term Memory (Memori Jangka Panjang).

Jika teori ini diimplementasikan dalam strategi pemasaran berbasis video pendek, maka prosesnya dapat dijabarkan sebagai berikut:

  • Stimulus Sensorik: Perusahaan dapat memanfaatkan elemen visual, audio, bahkan tekstur atau aroma (jika disampaikan secara visualisasi sugestif) untuk merangsang panca indra konsumen.
  • Perhatian (Attention): Tiga detik pertama adalah momen krusial untuk merebut perhatian. Di sinilah kreativitas dan strategi komunikasi brand diuji.
  • Memori Jangka Pendek: Setelah perhatian didapat, informasi yang disampaikan harus ringkas, relevan, dan mudah diingat agar bertahan di ingatan konsumen.
  • Pengulangan dan Elaborasi: Video yang diproduksi secara konsisten dan mengandung elemen berulang atau bermakna emosional dapat membantu informasi tertanam lebih dalam.
  • Memori Jangka Panjang: Ketika video pendek berhasil membangun asosiasi yang kuat dan konsisten, brand memiliki peluang besar untuk menjadi top of mind di benak konsumen.

Konsep perilaku konsumen yang dijelaskan oleh Solomon sebenarnya bukan hal baru. Strategi berbasis memori ini telah lama diterapkan dalam marketing konvensional. Namun, media komunikasi terus berevolusi. Di tengah pergeseran tren digital, pasar harus tetap adaptif dan jeli membaca perubahan.

Jika sebelumnya strategi utama digital marketing berfokus pada optimasi mesin pencari (SEO), kini brand mulai mengalihkan perhatian pada algoritma TikTok dan bagaimana konten mereka bisa tampil di halaman For You Page (FYP). Evolusi ini menjadi penanda bahwa kekuatan video pendek bukan hanya tren sementara, tetapi medium baru dalam membangun relevansi dan koneksi emosional dengan konsumen.

Navigasi Tren Digital: Haruskah Brand Mengikuti Arus?

TikTok telah menjadi warna baru dalam lanskap bisnis digital. Platform ini membawa perubahan dalam pola perilaku konsumen sekaligus menghadirkan tantangan dan peluang, khususnya bagi bisnis B2C (Business-to-Consumer). Bisnis yang menyasar individu merupakan pasar yang ideal untuk menerapkan strategi ini demi memperluas jangkauan produk mereka.

Namun, bagaimana dengan bisnis B2B (Business-to-Business)? Apakah memanfaatkan TikTok adalah strategi pemasaran yang relevan bagi mereka?

Sebagian pihak beranggapan bahwa platform ini tidak sesuai dengan target pasar B2B. Ada pula yang masih skeptis dan memandang TikTok sebatas media hiburan, kurang cocok untuk bisnis yang mengedepankan citra profesional dan pendekatan formal seperti perusahaan B2B atau korporasi.

Namun, ada satu hal penting yang kerap luput dari perhatian para stakeholder: di balik setiap keputusan bisnis B2B, tetap ada manusia. Artinya, faktor emosional tetap memainkan peran penting dalam proses pengambilan keputusan. Branding yang efektif bukan hanya soal menyampaikan informasi secara rasional, tetapi juga tentang membangun keterikatan emosional dengan audiens.

Fenomena ini tercermin dari para kreator konten seperti Felix Sulhendri dan Raymond Chin Verren yang sukses memanfaatkan TikTok sebagai platform edukasi bisnis dan keuangan. Keberhasilan mereka menunjukkan bahwa pengguna TikTok tidak hanya mencari hiburan, tetapi juga informasi yang bernilai. Perubahan perilaku ini semestinya menjadi peluang bagi perusahaan untuk menyesuaikan strategi komunikasinya agar lebih relevan dengan kebiasaan audiens saat ini.

Michael R. Solomon juga menegaskan bahwa setelah brand mencapai tahap awareness, langkah selanjutnya adalah membangun keterlibatan emosional dengan audiens. Salah satu caranya adalah dengan mengelaborasi identitas brand agar memiliki “nyawa” yang mampu membentuk koneksi dengan target pasar.

Contoh konkret dari penerapan strategi ini dapat dilihat pada akun resmi TikTok "Pesona Indonesia". Dengan konsisten menggunakan berbagai sound 'Jamet' viral, akun ini tidak hanya berhasil meningkatkan brand awareness, tetapi juga menciptakan interaksi dan keterikatan emosional dengan audiens. Meskipun dikelola oleh instansi pemerintah, kontennya tetap diterima secara luas karena dikemas dengan pendekatan yang sesuai dengan karakteristik target audiens.

Perubahan lanskap digital tentu menimbulkan pro dan kontra. Apakah setiap brand harus mengikuti tren dan jump on the bandwagon? Jawabannya tidak selalu. Kebijaksanaan dalam menyusun strategi digital tetap menjadi pagar utama yang perlu dijaga oleh setiap perusahaan.

Digitalisasi media sosial dan pergeseran perilaku konsumen bukanlah fenomena yang bisa dihindari, melainkan harus dipahami dan direspons secara adaptif. Di tengah derasnya arus tren, fondasi brand equity yang kuat menjadi jangkar agar brand tidak kehilangan arah. Brand yang memahami nilai inti mereka akan lebih mampu memilih platform dan merancang konten yang selaras dengan identitas serta positioning mereka di mata konsumen.

Dengan pendekatan yang tepat, TikTok dan platform sejenis tidak lagi sekadar ruang hiburan. Mereka dapat menjadi alat komunikasi yang strategis membangun brand presence, memperkuat keterlibatan emosional, dan menciptakan koneksi yang lebih autentik dengan audiens lintas generasi.

Karena pada akhirnya, bukan soal mengikuti tren semata, tetapi bagaimana sebuah brand mampu hadir dengan relevan dan bermakna, di tempat di mana audiens mereka berada.

Halaman Selanjutnya

Konten video pendek kini telah menjadi primadona dalam strategi pemasaran digital. Perubahan kebiasaan individu dalam mengonsumsi informasi dan berinteraksi dengan brand bukan hanya mencerminkan pola perilaku, tetapi juga menyajikan data berharga bagi perusahaan.

Halaman Selanjutnya

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |