Jakarta, VIVA – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia atau MAKI, akan menggugat UU Nomor 1 tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara, UU BUMN, yang salah satu pasalnya menyatakan bahwa direksi, komisaris dan dewan pengawas di BUMN bukan lagi penyelenggara negara.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) angkat bicara terkait rencana gugatan tersebut. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengatakan bahwa lembaganya tetap menyambut baik setiap adanya gugatan. Dia menyebut, melayangkan gugatan menjadi salah satu hak warga negara Indonesia.
"Dan KPK juga menegaskan positioning-nya terkait dengan implikasi adanya Undang-undang nomor 1 tahun 2025 tentang BUMN bagaimana implikasinya dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan KPK," ujar Budi Prasetyo kepada wartawan, Jumat 9 Mei 2025.
Budi selaras dengan pernyataan dari Ketua KPK, Setyo Budiyanto terkait pasal pada UU BUMN yang menjadi polemik. Dalam konteks UU BUMN memang direksi, komisarsi hingga dewan pengawas BUMN bukan lagi penyelenggara negara.
Namun begitu, kata Budi, KPK tidak bisa diatur melalui dasar aturan lain selain UU Nomor 28 Tahun 1999. Dalam aturan itu, mengatur bahwa penyelenggara negara harus bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
"Untuk itu, pada aspek pencegahan KPK juga berkesimpulan bahwa direksi, komisaris, dan pengawas pada BUMN juga wajib melaporkan LHKPN-nya dan melaporkan jika melakukan penerimaan gratifikasi," kata Budi.
Lebih lanjut, kata Budi, lembaga antirasuah akan tetap mengikuti undang-undang nomor 1 tahun 2025 diatur dalam pasal 4B. Sebab, KPK menilai ada kontradiksi dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara termasuk dengan BUMN.
"Oleh karena itu KPK berpandangan tetap dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara-perkara di BUMN karena statusnya masih dalam, karena statusnya sebagai penyelenggara negara dan atau adanya kerugian negara tentu yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum ataupun penyalahgunaan wewenang BUMN," tandas Budi.
MAKI Bakal Gugat Jika UU BUMN Tak Direvisi
Koodinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengaku akan menggugat UU BUMN ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika tidak dilakukan revisi atau perubahan terkait dengan komisaris hingga direksi di BUMN bukan lagi penyelenggara negara.
"Dan saya siap untuk itu, untuk maju ke MK membatalkan ketentutan pasal ini bahwa apapun berasal dari negara apabila kemudian penyimpangan terhadap aset negara ya korupsi. Jadi saya siap untuk maju ke MK untuk batalkan ketentuan ini," ujar Boyamin saat dikonfirmasi, Rabu 7 Mei 2025.
Boyamin mengaku kecewa dengan pemerintahan saat ini. Salah satunya setelah disahkannya UU BUMN pada awal tahun 2025.
Boyamin khawatir jika komisaris dan direksi bukan lagi penyelenggara negara. Sebab, jika mereka melakukan tindakan yang berhubungan dengan dugaan pidana, salah satunya korupsi.
"Sementara kita yang jelas-jelas BUMN saja, dinyatakan sebagai bukan kerugian negara padahal itu jelas-jelas berasal dari duit negara," kata Boyamin.
"Dan untuk itu saya berharap ada revisi atau penjelasan bahwa pasal-pasal tersebut tetap memungkinkan di lakukan penanganan perkara oleh penegakan hukum meskipun hanya dalam penggelapan jabatan, misalnya," imbuhnya.
Boyamin mencontohkan negara lain seperti Singapura hingga Malaysia. Sebab, dua negara itu, lembaga antikorupsinya masih bisa mengusut pihak swasta jika kedapatan melakukan pidana korupsi.
"Nah saya berharap meskipun begitu ya nanti kalau ini tidak segera di rubah ya kita maju ke MK untuk merubahnya," tandas Boyamin.
Pernyataan Ketua KPK soal UU BUMN
Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan bahwa ada sejumlah pasal dibawah Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang justru dimaknai menghalangi proses penyelidikan hinga penyidikan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi di BUMN.
"KPK memaknai ada beberapa ketentuan yang dianggap akan membatasi kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang terjadi di BUMN," ujar Setyo Budiyanto dalam keterangan tertulis, Rabu 7 Mei 2025.
Setyo menjelaskan dalam aturan, direksi BUMN itu bertentangan dengan ruang lingkup Penyelenggara Negara yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 7 beserta Penjelasannya dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Eks Irjen Kementan itu, menyebutkan bahwa dalam UU Nomor 28 tahun 1999 menjelaskan bahwa hukum administrasi khusus berkenaan dengan pengaturan penyelenggara negara untuk mengurangi adanya KKN. Lantas, KPK berpedoman dengan aturan tersebut.
"Maka sangat beralasan jika dalam konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi berkenaan dengan ketentuan Penyelenggara Negara, KPK berpedoman pada UU Nomor 28 Tahun 1999," ucap Setyo.
Lebih lanjut, Setyo menyebut dalam pasal 9G UU turut mengatur bahwa tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang.
Selanjutnya, KPK berpandangan bahwa komisaris direksi BUMN masih penyelenggara negara.
"Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN tetap merupakan Penyelenggara Negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999," sebut dia.
"Sebagai Penyelenggara Negara, maka Direksi/Komisaris/Pengawas BUMN tetap memiliki kewajiban untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan penerimaan gratifikasi," lanjutnya.
Pun, Setyo menegaskan sejatinya KPK masih bisa menangani kasus di BUMN. Sebab, KPK memiliki pandangan bahwa penegakan hukum atas korupsi di BUMN upaya menjaga perusahaan tetap baik.
"Artinya, KPK bisa menangani kasus korupsi di BUMN jika ada penyelenggara negara, ada kerugian keuangan negara, atau keduanya," bebernya.
Adapun terkait aturan tersebut, tercantum dalam pasal 9G Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Berikut bunyi pasalnya:
Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Halaman Selanjutnya
"Oleh karena itu KPK berpandangan tetap dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara-perkara di BUMN karena statusnya masih dalam, karena statusnya sebagai penyelenggara negara dan atau adanya kerugian negara tentu yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum ataupun penyalahgunaan wewenang BUMN," tandas Budi.