Eks Pimpinan KPK Bilang Penjual Pecel Lele di Trotoar Bisa Kena UU Tipikor, Begini Penjelasannya

6 hours ago 2

Jumat, 20 Juni 2025 - 15:59 WIB

Jakarta, VIVA – Mantan Wakil Ketua KPK periode 2007-2009, Chandra M Hamzah mengungkapkan UU Tipikor Pasal Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 bisa menjadi sumber masalah. Ia menganalogikan bahwa penjual pecel lele bisa dijerat dengan pasal tersebut jika mengakibatkan kerugian negara dan menguntungkan pihak tertentu.

Pernyataan itu disampaikan Chandra Hamzah saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang uji materiil Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu, 18 Juni 2025.

Chandra mempersoalkan bunyi Pasal 2 dan Pasal 3 yang dinilai terlalu luas dan ambigu. Sehingga dapat menimbulkan penegakkan hukum yang sewenang-wenang.

Pecel lele.

Photo :

  • Instagram @sandraayu_dewi

"Sebab, penjual pecel lele termasuk 'setiap orang' yang melakukan perbuatan melawan hukum dengan berjualan di atas trotoar yang seharusnya digunakan pejalan kaki, kemudian penjual pecel lele juga bisa dikatakan mencari keuntungan atau memperkaya diri sendiri dengan berjualan di trotoar yang membuat fasilitas publik milik negara itu rusak, sehingga dapat dianggap pula merugikan keuangan negara," kata Chandra Hamzah dalam siaran pers MK, dikutip pada Jumat, 20 Juni 2025.

Chandra menjelaskan perumusan delik harus jelas dan tak boleh bersifat ambigu serta tak bisa ditafsirkan secara analogi. Sehingga tidak melanggar asas lex certa maupun lex stricta.

"Maka penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi, ada perbuatan, memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara,” ujarnya.

Sementara dalam Pasal 3 UU Tipikor, ia menjelaskan Pasal itu memuat frasa setiap orang yang dapat mengingkari esensi dari korupsi itu sendiri. Sebab, tidak setiap orang memiliki kekuasaan yang cenderung korup. 

Padahal, lanjut dia, ketentuan ini telah menegaskan adanya jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

"Kesimpulannya adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor kalau saya berpendapat untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi," kata Chandra.

"Kemudian yang kedua, merevisi Pasal 3 Undang-Undang Tipikor dengan mengganti, menyesuaikan dengan Article 19 UNCAC yang sudah kita jadikan norma, ‘Setiap Orang’ diganti dengan ‘Pegawai Negeri’ dan ‘Penyelenggara Negara’ karena itu memang ditujukan untuk Pegawai Negeri dan kemudian menghilangkan frasa ‘yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara’ sebagaimana rekomendasi UNCAC,” imbuhnya.

Halaman Selanjutnya

Sementara dalam Pasal 3 UU Tipikor, ia menjelaskan Pasal itu memuat frasa setiap orang yang dapat mengingkari esensi dari korupsi itu sendiri. Sebab, tidak setiap orang memiliki kekuasaan yang cenderung korup. 

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |