Jakarta, VIVA - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita lebih dari Rp 11 triliun dari perusahaan Wilmar Group terkait kasus dugaan korupsi ekspor crude palm oil (CPO). Kasus itu terkuak karena melibatkan suap terhadap hakim yang sudah mencederai peradilan.
Anggota Komisi III DPR RI Gilang Dhielafararez menyebut skandal kasus itu membuka kembali luka lama masyarakat yang dulu kesulitan mendapatkan minyak goreng.
"Publik masih sangat ingat betul bagaimana minyak goreng menghilang dari rak-rak toko, harga meroket, dan antrean panjang terjadi di mana-mana. Sekarang kita tahu, ternyata ada permainan besar yang membuat rakyat sengsara demi keuntungan korporasi," kata Gilang, dalam keterangannya, Kamis, 19 Juni 2025.
Dia menuturkan kejahatan korporasi juga membuat rakyat kesulitan mencari minyak goreng.
"Belum lagi harganya juga menjadi selangit. Muncul kegaduhan di tengah masyarakat. Jadi, penanganan kasusnya juga harus melihat dari pendekatan psikososial,” lanjut legislator PDIP itu.
Gilang menilai kasus hakim bisa disuap oleh industri sawit raksasa itu merupakan skandal besar yang dikhawatirkan berpengaruh pada kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.
“Vonis lepas (ontslag van alle recht vervolging) yang diberikan kepada Wilmar Group dan sejumlah korporasi sawit lainnya tidak hanya merusak asas keadilan," tutur Gilang.
Konferensi pers Kejagung terkait penetapan tersangka kasus suap putusan lepas atau ontslag perkara korupsi crude palm oil atau CPO.
Photo :
- Dok. Humas Kejagung RI
"Tetapi juga menghambat upaya penegakan hukum terhadap korporasi yang nyata-nyata menyebabkan kerugian publik," tutur Gilang.
Menurut Gilang, kasus itu juga jadi indikator bahwa mafia hukum dan mafia pangan saling berkelindan (saling terkait).
"Korupsi di sektor strategis seperti CPO bukan hanya soal penggelapan dana, tetapi berimbas langsung pada hajat hidup orang banyak," ujar Legislator dari dapil Jawa Tengah II itu.
Dia menyinggung kondisi keadilan yang seperti menjadi barang dagangan.
"Ketika korporasi bisa menyuap hakim demi vonis lepas, maka keadilan menjadi barang dagangan, dan masyarakat menjadi korban dua kali: saat minyak goreng langka, dan saat pelaku dilepaskan dengan skema hukum yang dimanipulasi," lanjut Gilang.
Maka itu, dia menuturkan agar kasus ekspor CPO tak boleh berhenti pada penyitaan uang dan penetapan tersangka saja. Menurut dia, harus ada proses hukum yang transparan dan menyeluruh sampai pada pihak pemberi maupun penerima suap.
"Kasus ini harus ditangani secara tuntas, tidak cukup hanya dengan penyitaan uang dan menetapkan tersangka. Proses hukum harus berjalan transparan dan menyeluruh, menyasar semua pihak yang terlibat," ujarnya.
Kejagung masih terus menyidik kasus dugaan korupsi dari pemberian vonis lepas kepada Wilmar Group dan sejumlah korporasi lainnya. Belum lama ini Kejagung sudah menyita uang senilai Rp11,8 triliun dari Wilmar Group terkait dugaan korupsi dalam penerbitan izin ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang terjadi pada 2022.
Langkah penyitaan dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan oleh praktik korupsi itu. Uang tersebut berasal dari lima perusahaan di bawah naungan Wilmar Group, yang terlibat dalam kasus pemberian fasilitas ekspor CPO selama periode Januari 2021 hingga Maret 2022.
Kelima perusahaan tersebut adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multinabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Kasus ini bermula dari putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Maret 2025 di mana tiga korporasi yang terlibat yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group mendapatkan vonis lepas dari segala tuduhan.
Meski majelis hakim menyatakan tiga perusahaan Wilmar Group terbukti melakukan pelanggaran hukum. Namun, tak dianggap sebagai tindak pidana. Hal ini memicu kontroversi dan ditemukan fakta bahwa 3 hakim yang terlibat dalam perkara tersebut menerima suap.
Tiga hakim yang terlibat dalam perkara yakni Djuyamto selaku Ketua Majelis, Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom selaku anggota. Mereka diduga menerima suap bersama Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta senilai Rp60 miliar. Hal ini menyebabkan Kejagung menetapkan ketiga hakim tersebut sebagai tersangka.
Halaman Selanjutnya
Source : Dok. Humas Kejagung RI