Jakarta, VIVA – Sektor manufaktur China kini berada di persimpangan jalan, dihantam kenaikan tarif ekspor dan menurunnya permintaan global. Pabrik-pabrik yang dulunya menjadi kekuatan ekonomi kini banyak yang tutup, membuat para pekerja terjebak dalam ketidakpastian finansial. Konsumsi dalam negeri yang diharapkan bisa menutup kerugian juga tidak cukup kuat. Akibatnya, rantai pasok mulai runtuh, upah pekerja anjlok, dan banyak bisnis berada di ambang kebangkrutan.
Kenyataannya, perang dagang tidak menguntungkan siapa pun. Dampaknya tidak hanya memukul ekspor, tetapi juga mengancam lapangan kerja, investasi, bahkan keberlangsungan berbagai industri. Tanpa penyesuaian besar-besaran, China bisa menghadapi krisis ekonomi panjang. Beberapa tahun ke depan akan menjadi penentu: apakah China bisa beradaptasi, atau jutaan orang harus menghadapi masa depan tanpa kepastian.
Dampak Kenaikan Tarif yang Drastis
Kenaikan tarif hingga 145% sudah mulai menunjukkan dampak serius. Pabrik-pabrik di China—yang dulunya menjadi pusat produksi dunia—sekarang banyak yang tutup serentak, meninggalkan ribuan pekerja tanpa pekerjaan. Upaya pemerintah untuk mendorong konsumsi dalam negeri juga belum mampu menahan goncangan ini. Situasinya sangat berat: sektor manufaktur China di ambang kehancuran.
Kalau Anda masuk ke workshop pabrik saat ini, Anda akan melihat tumpukan barang ekspor yang belum terjual. Ketidakpastian begitu terasa—para produsen bahkan tidak tahu apakah barang itu masih bisa dikirim, atau apakah pembeli luar negeri masih tertarik. Banyak bisnis benar-benar berhenti beroperasi, terombang-ambing antara harapan dan kenyataan ekonomi.
Beberapa pabrik besar sudah menghentikan produksi sepenuhnya dan memberhentikan ratusan pekerja hanya dalam satu malam. Pesanan dari Amerika Serikat berhenti total, membuat para eksekutif pabrik kebingungan menghadapi kebijakan tarif yang berubah-ubah. Untuk para pekerja, satu hal yang pasti hanyalah kesulitan hidup. Ketika pabrik tak mampu bertahan, jalanan sepi dan angka pengangguran melonjak tajam.
Pekerja china
Photo :
- www.technologyreview.com
Upah Anjlok, Pekerja Pulang Kampung
Saat perdagangan luar negeri berhenti, pabrik-pabrik tak punya pilihan selain memangkas biaya. Dan yang pertama terkena imbas? Para pekerja. Upah yang sebelumnya dianggap aman kini turun drastis: satu bulan bisa 2.000 Yuan, bulan berikutnya tinggal 1.000 Yuan, dan tidak lama kemudian, hilang sama sekali. Kondisi ini memaksa banyak pekerja untuk pulang kampung mencari peluang baru.
Seorang profesional keuangan menceritakan, baru beberapa hari lalu seorang klien ekspor mengungkapkan bahwa 90% bisnis mereka sudah berhenti—padahal saat itu tarif baru naik ke 54%. Kini dengan tarif melonjak menjadi 145%, bisa dipastikan aktivitas bisnis benar-benar lumpuh.
Dampak Meluas ke Seluruh Industri
Semakin lama perang dagang ini berlangsung, kerusakan yang ditimbulkan makin dalam. Ekspor pakaian, misalnya, benar-benar runtuh. Pabrik-pabrik yang kehilangan pasar ekspor kini membanjiri pasar domestik dengan barang-barang surplus. Harga bahan kain anjlok, upah pekerja terus ditekan, dan persaingan di pasar dalam negeri menjadi sangat brutal.
Harga grosir terus turun, tapi keuntungan tak kunjung datang. Toko-toko fisik gencar menggelar promosi untuk meningkatkan penjualan, namun daya beli masyarakat tetap lemah. Tanpa penghasilan, darimana belanja akan datang? Efek domino tak terelakkan: perusahaan-perusahaan berbasis ekspor runtuh, dan para pekerja yang bergantung pada mereka kehilangan mata pencaharian.
Ilustrasi tunawisma sedang tertidur di Bandara Daxing.
Tekanan Berat bagi Kelas Menengah
Pekerja kelas menengah di China kini menanggung beban finansial yang berat. Banyak dari mereka sudah menghabiskan tabungan puluhan tahun untuk membeli rumah, mengunci diri dalam cicilan jangka panjang. Kini, di saat mereka paling butuh kestabilan, justru kehilangan pekerjaan.
Di sisi lain, pemerintah China tetap bertahan dengan kebijakannya, sementara tarif dari Amerika Serikat—di bawah kepemimpinan Trump—naik drastis menjadi 145%. Banyak pabrik memperpanjang masa libur pekerja, tetapi sebagian besar diperkirakan akan tutup permanen.
Pilihan yang Sulit: Bertahan atau Gulung Tikar
Para ahli perdagangan internasional mungkin memberikan saran strategi bertahan. Namun, faktanya, hampir tidak ada cara efektif untuk menghadapi situasi ini. Harga barang naik dua kali lipat, tapi para pelanggan tidak sanggup menanggung beban biaya tambahan itu. Perusahaan mebel, rantai pasokan, hingga platform logistik—semua mengalami kerugian besar.
China kini menghadapi kenyataan pahit: lebih dari 10 juta lulusan baru setiap tahun harus bersaing di pasar kerja yang semakin sempit. Bila bisnis-bisnis tumbang dan lapangan kerja menghilang, sektor non-ekspor pun bisa ikut terseret jatuh karena lemahnya konsumsi.
Perang dagang ini jelas jalan buntu: satu pihak menaikkan tarif, pihak lain membalas, harga barang melonjak, dan pada akhirnya konsumen yang menanggung beban. Data berbicara: jumlah penduduk Amerika hanya seperempat dari China, tetapi konsumsi mereka sepuluh kali lebih besar. Sementara China terus memproduksi barang untuk dunia, keuntungannya justru tidak dinikmati rakyatnya sendiri.
Kembali ke Pertanian?
Sebagian orang berpendapat bahwa krisis ini bisa mempercepat koreksi pasar properti yang sudah terlalu mahal di China. Namun mereka melupakan satu hal: sebelum itu terjadi, biaya hidup akan melonjak dan peluang kerja akan menghilang. Dengan upah menyusut dan daya beli anjlok, pekerja mulai berhemat habis-habisan, dan ini makin menghimpit industri.
Bagi perusahaan-perusahaan yang bergantung pada perdagangan luar negeri, hanya ada dua pilihan: beralih ke pasar domestik atau tutup sepenuhnya. Kenyataannya, peralihan ke pasar lokal berarti penurunan besar dalam profitabilitas dan semakin banyak lapangan kerja yang hilang. Bagi banyak orang, satu-satunya jalan keluar adalah kembali bertani.
Namun, dengan jutaan pekerja berbondong-bondong kembali ke desa, sektor pertanian akan menjadi arena persaingan sengit, sama kerasnya dengan dunia manufaktur dulu. Ini baru satu bagian dari krisis besar yang akan terus bergulir seiring upaya China menyesuaikan ekonominya secara real time.
Halaman Selanjutnya
Upah Anjlok, Pekerja Pulang Kampung