Gaza, VIVA – Juliette Touma, Direktur Komunikasi Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), mengungkapkan keprihatinan mendalam atas situasi kemanusiaan yang semakin memburuk di Jalur Gaza.
Dalam jumpa pers mingguan yang dilakukan secara daring dari Kantor PBB di Jenewa pada hari Selasa, Touma menyebut pengepungan yang dilakukan Israel sebagai “pembunuh diam-diam” yang mengancam nyawa anak-anak dan orang tua.
“Anak-anak di Gaza tidur dalam keadaan kelaparan. Pengepungan di Gaza adalah pembunuh diam-diam bagi anak-anak dan orang tua,” ujarnya, dilansir dari Anadolu Ajansi pada Rabu, 30 April 2025.
Warga Gaza Terancam Kelaparan Massal, Buntut Israel Blokir Seluruh Pasokan Makan
Touma menyoroti betapa sulitnya kehidupan warga Gaza saat ini. Banyak keluarga tidak bisa mendapatkan makanan. Padahal, lebih dari 5.000 truk bantuan sudah menunggu untuk masuk ke Gaza, tetapi terhambat oleh blokade ketat dari Israel.
Ia menjelaskan bahwa larangan masuknya bantuan membuat situasi kemanusiaan semakin parah. Warga sipil menjadi korban utama dari pemboman dan kekurangan kebutuhan dasar seperti makanan, air, dan obat-obatan.
“Keputusan Israel sangat menghambat upaya kami untuk memberikan bantuan. Ini membahayakan nyawa warga sipil yang tidak bisa lari dari serangan atau berpindah tempat dengan aman,” katanya.
Kota Rafah yang berada di bagian selatan Gaza menjadi salah satu daerah paling terdampak. Touma menyebut bahwa 97% wilayah Rafah telah terdampak perintah pengungsian paksa menyebabkan sekitar 150.000 orang harus kembali mengungsi.
Hampir satu tahun lalu, militer Israel masuk ke Rafah yang sebelumnya menjadi tempat berlindung bagi lebih dari 1,4 juta orang. Namun kini, banyak rumah, tempat penampungan, dan fasilitas kesehatan telah hancur atau rusak berat.
“Rafah tidak seperti kota yang dulu lagi. Di mana-mana hanya ada kehancuran,” tutur Touma.
Lebih dari 90% penduduk Gaza kini telah kehilangan rumah mereka. Sebagian besar harus mengungsi hingga 13 kali, berpindah-pindah tempat demi menyelamatkan diri.
“Bayangkan harus terus berpindah, meninggalkan rumah, tanpa tahu ke mana harus pergi, dan tetap tidak merasa aman,” katanya.
Touma juga mengungkapkan bahwa sejak perang dimulai pada akhir 2023, lebih dari 50 staf UNRWA diduga telah ditahan dan dianiaya oleh otoritas Israel. Hal ini menambah tantangan dalam menjalankan misi kemanusiaan.
Situasi keuangan UNRWA juga berada dalam kondisi sangat genting. Setelah sempat dihentikan pada Januari 2024 karena tuduhan terhadap beberapa staf, hampir semua donor, kecuali Amerika Serikat telah kembali memberikan dana. Namun, kebutuhan bantuan masih sangat besar.
“Kami butuh dana tambahan dengan segera untuk bisa terus bekerja dan membantu mereka yang terdampak,” tegasnya.
Halaman Selanjutnya
“Rafah tidak seperti kota yang dulu lagi. Di mana-mana hanya ada kehancuran,” tutur Touma.