Hakim Enny: Uji Formal UU TNI Minta Presiden Bayar Ganti Rugi Bukan Wewenang MK

10 hours ago 6

Jumat, 9 Mei 2025 - 21:52 WIB

Jakarta, VIVA - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Enny Nurbaningsih mengatakan permohonan uji formal Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI, yang meminta Presiden, Badan Legislasi (Baleg), hingga DPR untuk membayar ganti rugi kepada negara hingga miliaran rupiah merupakan hal yang tidak lazim.

Enny menilai permohonan memintakan sesuatu yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah dan tidak sesuai dengan hukum acara. Hal itu disampaikan pada akhir sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor: 58/PUU-XXIII/2025 di Jakarta, pada Jumat, 9 Mei 2025.

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Enny Nurbaningsih

Perkara Nomor 58 tersebut dimohonkan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Putera Batam Hidayatuddin serta mahasiswa Fakultas Teknik Informatika Politeknik Negeri Batam Respati Hadinata.

Para pemohon meminta Mahkamah untuk menghukum pembayaran uang paksa (dwangsom) kepada Presiden RI Periode 2024-2029, pimpinan dan anggota Baleg periode 2024-2029, serta pimpinan dan anggota DPR periode 2024–2029 yang hadir dalam rapat paripurna pengesahan UU TNI.

Kedua pemohon itu meminta Presiden membayar uang paksa setiap harinya kepada negara sebanyak Rp12,5 miliar, Baleg sebanyak Rp2,5 miliar, dan DPR sebanyak Rp25 miliar. Uang paksa dibayarkan jika ketiga pihak tersebut lalai dalam menjalankan putusan Mahkamah.

Di samping itu, para pemohon mengajukan petitum alternatif berupa pembayaran ganti rugi kepada negara, masing-masing Rp25 miliar untuk Presiden, Rp5 miliar untuk Baleg, dan Rp50 miliar untuk DPR. Ganti rugi ini karena ketiga pihak dinilai lalai menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya dalam pembentukan UU TNI yang baru.

“Ini ada yang meminta Mahkamah untuk hukum Presiden, kemudian menghukum Baleg, dan seterusnya. Itu tidak lazim yang seperti itu dan tidak sesuai dengan hukum acaranya di MK, bukan kewenangan MK yang seperti itu,” kata Enny.

Maka dari itu, Enny meminta pemohon untuk memahami kembali Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Khususnya, kata dia, Pasal 10 yang mengatur tentang tata cara perumusan permohonan atau petitum.

“Ini Anda ke mana-mana ini, yang tidak kewenangan Mahkamah, tidak mungkin kemudian Mahkamah memaksa Presiden untuk meminta seperti yang Saudara minta ini. Apalagi sampai sedemikian detail yang Saudara sampaikan di sini, itu tidak merupakan sesuatu yang lazim ya untuk dilakukan oleh Mahkamah,” ujarnya.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat juga meminta pemohon untuk memedomani hukum acara pengujian undang-undang di MK. Menurut dia, permohonan berpotensi tidak dapat diterima jika tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara.

“Anda bisa bayangkan kalau permohonan Anda tidak memenuhi kayak begitu-begitu, ya, tentunya bisa tidak dapat diterima, bisa karena kabur atau karena apa saja bisa nanti, ya, tidak dilanjutkan ke sidang pembuktian,” jelas Arief.

Oleh karenanya, Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan waktu kepada Pemohon selama dua pekan jika ingin memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan diterima oleh Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Kamis, 22 Mei 2025.(Ant)

Halaman Selanjutnya

“Ini ada yang meminta Mahkamah untuk hukum Presiden, kemudian menghukum Baleg, dan seterusnya. Itu tidak lazim yang seperti itu dan tidak sesuai dengan hukum acaranya di MK, bukan kewenangan MK yang seperti itu,” kata Enny.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |