Jakarta, VIVA – Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, menanggapi sejumlah keterangan dari Saeful Bahri, yang menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan PAW DPR 2019-2024. Hasto adalah terdakwa dalam kasus tersebut.
Hasto meyakini, bahwa keterangan Saeful Bahri adalah suatu proses daur ulang yang justru tidak sesuai dengan fakta hukum sebenarnya.
“Kesaksian saudara Saeful Bahri atas pertanyaan jaksa penuntut umum tadi menunjukkan proses daur ulang itu nyata. Karena yang dibacakan di dalam BAP itu adalah suatu akrobat hukum,” ujar Hasto Kristiyanto, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 22 Mei 2025.
Hasto menyebut, bahwa keterangan yang tertuang pada Berita Acara Pemeriksaan Khusus (BAPK) adalah keterangan yang sudah diambil saat penyelidikan pada 8 Januari 2020.
Lebih lanjut, Hasto menuturkan bahwa keterangan Saeful Bahri dihidupkan meski bertentangan dengan fakta dalam putusan pengadilan.
“Ketika BAPK itu kemudian dihidupkan kembali, padahal itu bertentangan dengan putusan nomor 18 dan 28, maka terkesan ini adalah proses daur ulang,” kata Hasto.
Kemudian, Hasto menilai BAP yang dibacakan kembali tersebut cenderung memberatkannya. Namun tidak memuat informasi penting lain yang bisa memperjelas konteks kasus.
Kemudian, dia mencontohkan desakan terus-menerus dari Harun Masiku kepada Saeful Bahri, termasuk terkait dukungan dana, yang tidak muncul dalam BAP.
“Di situlah terjadi konflik kepentingan karena hal-hal lain itu tidak disebutkan,” kata dia.
Hasto juga membantah narasi soal aliran dana senilai Rp 600 juta yang dikaitkan dengan dugaan suap, dan menyebut dana itu sebenarnya disiapkan untuk program penghijauan dalam rangka HUT PDIP pada 10 Januari 2020.
“Program penghijauan itu memang dilaksanakan. Kalau rekan-rekan pers datang ke DPP, itu ada vertical garden yang dibangun dalam rangka ulang tahun PDI Perjuangan yang bertepatan dengan Hari Bumi,” jelas Hasto.
Namun, menurut Hasto, karena peristiwa yang terjadi pada 8 Januari 2020, rencana program itu batal dijalankan. Lebih lanjut, Hasto menyebut anggaran program tersebut sebenarnya disetujui bendahara partai dengan nilai lebih besar dari Rp 600 juta.
“Budget-nya lebih dari Rp 600 juta, jadi sekitar Rp 600-800 juta. Itu ada dalam keterangan saya saat bersaksi di bawah sumpah dalam perkara nomor 18 dan 28 Januari,” kata Hasto.
Dalam perkara dugaan suap, Hasto didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp 600 juta kepada Wahyu pada rentang waktu 2019-2020.
Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) Calon Legislatif Terpilih Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama Anggota DPR periode 2019-2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Selain itu, Hasto turut didakwa menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan.
Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Halaman Selanjutnya
Kemudian, dia mencontohkan desakan terus-menerus dari Harun Masiku kepada Saeful Bahri, termasuk terkait dukungan dana, yang tidak muncul dalam BAP.