Singkawang, VIVA – HA, Anggota DPRD Singkawang yang tersandung kasus asusila terhadap anak di bawah umur segera menghadapi sidang vonis majelis hakim atas perkaranya. Kuasa hukum HA, menilai kliennya sudah diadili publik, sebelum Pengadilan Negeri Singkawang memvonisnya bersalah.
HA bahkan telah duduk di kursi pesakitan dengan tudingan serius yakni asusila terhadap anak di bawah umur. Atas dasar itu, tim kuasa hukum HA membeberkan sejumlah fakta mengejutkan terkait kejanggalan proses penyidikan hingga penuntutan terhadap kliennya.
Jelang sidang putusan di Pengadilan Negeri Singkawang, Tim Kuasa Hukum HA, Nur Rohman mengungkapkan, perjalanan perkara yang menimpa kliennya terindikasi terlalu dipaksakan.
Mulai dari adanya percepatan waktu antara pelaporan polisi nomor LP/B/77/VII/2024/SPKT/Polres Singkawang/ Polda Kalimantan Barat tanggal 11 Juli 2024.
“Dihari dan tanggal yang sama, yakni 11 Juli 2024, Polres Singkawang mengeluarkan surat perintah Penyidikan, garis bawahi, penyidikan ya dengan nomor SP.Sidik/84/VII/RES.1.24,/2024/Reskrim dan disusul surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan dengan nomor SPDP/78/VII/RES.1.24./Reskrim tanggal 16 Juli 2024. Kita simak rentan waktunya yang menurut kami tidak normal,” ujar Rohman dalam keterangan persnya, Sabtu., 17
Kemudian, lanjut Rohman, pada 16 Agustus 2024, kliennya ditetapkan sebagai tersangka dengan nomor surat S.Tap/89/VII/RES.1.24./2024/Reskrim. Pihaknya juga menyoroti surat tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum. Ia menilai, terdapat sejumlah hal yang dinilai tidak sesuai fakta di lapangan.
Antara lain, dalam tuntutan disebutkan bahwa korban berada di lokasi kejadian di kost Gang Pepaya, padahal faktanya, korban pada saat itu sudah berada di Pontianak. Hal ini justeru diperkuat dengan pernyataan dari pendamping pelapor yang menyebutkan bahwa, korban diantarkan ke Pontianak, tiga minggu setelah pelapor (ibu korban) melahirkan. Dalam Kartu Keluarga nomor 6172052410120004 tercantum nama anak laki-laki berinisial EL yang terlahir pada tanggal 7 bulan Juni 2023.
Selain itu, dalam rentan waktu yang dutuduhkan, terdakwa disebut memiliki jadwal kegiatan padat kaitannya dengan berbagai kegiatan bersama konstituennya selaku politisi. HA juga dipastikan tidak memiliki akses terhadap kunci gerbang gudang, yang menjadi tempat dugaan kejadian perkara.
Menurutnya, kecil kemungkinan terdakwa dapat melakukan tindakan sebagaimana yang dituduhkan. “Keterangan korban juga dianggap tidak konsisten dan berubah-ubah, sehingga menimbulkan keraguan terhadap validitas kesaksian,” lanjut Rohman.
Tim hukum HA juga mengingatkan pentingnya objektivitas dalam penegakan hukum, serta mengajak semua pihak untuk tidak terpengaruh oleh tekanan atau suasana politik yang sedang berlangsung. “Kami berharap majelis hakim dapat memutus perkara ini secara objektif dan independen, tanpa tekanan dari pihak mana pun,” tandas Rohman.
Rohman menekankan, pembelaan ini disusun berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, sebagai bagian dari hak terdakwa untuk meluruskan fakta yang dianggap tidak sesuai selama proses persidangan berlangsung. “Kami menyusun pledoi ini sebagai bentuk hak terdakwa untuk menyampaikan fakta yang sebenarnya, agar proses hukum berjalan secara adil dan objektif,” ujarnya.
Di tengah sorotan tajam masyarakat terhadap perkara yang tengah viral itu, penting untuk memberikan dukungan moral kepada majelis hakim yang tengah menjalankan tugas konstitusionalnya. Majelis hakim dituntut untuk tetap berpegang pada prinsip keadilan, objektivitas, dan independensi, tanpa terpengaruh tekanan opini publik atau pemberitaan yang bias.
“Proses peradilan yang fair adalah pilar utama negara hukum. Oleh karena itu, kami mengapresiasi keberanian dan integritas majelis hakim dalam mempertahankan marwah peradilan serta memastikan bahwa setiap putusan didasarkan pada fakta hukum, alat bukti yang sah, dan hati nurani yang bersih. Semoga saja majelis hakim tetap teguh dan diberi kekuatan dalam menegakkan keadilan yang sebenar-benarnya demi kepentingan hukum dan masyarakat yang beradab,” tambah Army, Tim Kuasa Hukum HA.
Bukti Forensik Lebih dari 72 Jam Tak Bernilai
Selain itu, menurut keterangan Saksi Ahli, Dr. Handar Subhandi Baktiar, S.H., M.H., M.Tr.Adm.Kes, Kajur merangkap Koordinator Prodi Doktor dan Dosen Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta, terkait pelaksanaan visum yang dilakukan pada Juli 2024 sementara dugaan peristiwa asusilanya pada Juli 2023, maka hasil visumnya yang menjadi bukti forensik tidak lagi memiliki nilai pembuktian.
Dalam jurnalnya, Handar menyebutkan, bukti forensik memainkan peran penting dalam kasus kekerasan seksual, menentukan kekuatan argumen penuntutan dan memastikan keabsahan hasil putusan pengadilan.
Namun, sayangnya, di Indonesia tidak memiliki batas waktu forensik yang jelas, yang menyebabkan keterlambatan prosedural dan potensi penurunan kualitas bukti. Bukti biologis, seperti DNA, cairan tubuh, dan sidik jari, dapat mengalami kerusakan seiring waktu, sehingga mengurangi nilai pembuktiannya. Studi ini menekankan bahwa batas waktu forensik sangat penting untuk menjaga integritas bukti, mempercepat penyelidikan, dan memastikan persidangan yang adil.
Perbandingan dengan Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Korea Selatan menunjukkan bahwa yurisdiksi yang menerapkan batas waktu forensik dapat meningkatkan efisiensi hukum dan tingkat penghukuman.
Inggris mengharuskan pemeriksaan forensik dilakukan dalam waktu 7 hari, dengan prioritas pada 72 jam pertama untuk pengambilan DNA yang optimal. Amerika Serikat menerapkan jangka waktu forensik selama 120 jam, untuk memastikan kelayakan bukti.
Australia menerapkan batas waktu forensik selama 7 hari, dengan 72 jam pertama dianggap paling krusial. Korea Selatan menekankan batas waktu 72 jam untuk pengumpulan bukti biologis, dan memperbolehkan hingga 7 hari untuk pemeriksaan forensik tambahan.
Sebaliknya, Indonesia tidak memiliki pedoman khusus, yang menyebabkan praktik forensik yang tidak konsisten dan tantangan dalam penuntutan kasus kekerasan seksual. Untuk meningkatkan efisiensi forensik, studi ini merekomendasikan agar Indonesia menetapkan batas waktu forensik dalam undang-undang, menerapkan protokol forensik yang terstandarisasi, dan memperluas infrastruktur forensik.
Penguatan keahlian forensik, peningkatan aksesibilitas forensik dan peningkatan koordinasi penegakan hukum merupakan langkah penting untuk menjamin keadilan bagi korban. Penerapan regulasi waktu forensik yang jelas akan memperkuat kerangka hukum Indonesia dan menjunjung tinggi prinsip keadilan.
Syarat Politis dan Fitnah
Bergulirnya proses persidangan HA, menarik perhatian dan simpatik ratusan warga. Sejumlah warga yang semula terhasut opini yang terbentuk, perlahan mengetahui sisi lain dan fakta dalam perkara tersebut.
Pada persidangan terdakwa HA di Pengadilan Negeri Singkawang dengan agenda mendengarkan Nota Pembelaan/Pledoi dari penasihat hukum terdakwa HA, Rabu 14 Mei 2025 kemarin, puluhan warga Singkawang ikut menyaksikan.
Kehadiran masyarakat ini, rupanya untuk memberikan dukungan moril kepada terdakwa atas kasus yang kini bergulir di Pengadilan Negeri Singkawang. Mereka yang hadir selaku masyarakat, meyakini bahwa terdakwa HA tidak bersalah dan hanya difitnah. “Kami sepenuhnya memahami, naiknya perkara ini hingga ke meja persidangan bertepatan dengan momen politik yaitu pemilihan DPRD Singkawang,” kata Mulyadi, salah satu warga yang hadir.
Mulyadi menegaskan, pihaknya hadir dalam persidangan ini untuk memberikan dukungan moril kepada terdakwa dan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Singkawang yang memeriksa perkara ini. Mereka berharap agar terdakwa diberikan kekuatan dalam menghadapi fitnah. “Kami meyakini bahwa terdakwa hanyalah korban politik. Terdakwa tidak boleh menjabat oleh lawan politiknya setelah memenangkan pemilihan secara demokratis,” ujar warga.
Selaku masyarakat, Mulyadi mewakili unsur masyarakat yang hadir dapat menilai bahwa terdapat banyak kejanggalan dalam perkara ini. Selanjutnya, pihaknya berharap kepada Majelis Hakim agar memutus perkara ini dengan hati nurani, dengan tidak mengabaikan fakta yang ada di persidangan dan bebas dari tekanan pihak manapun.
“Kami mendukung majelis hakim yang menangani perkara ini untuk obyektif dan berdasarkan fakta dipersidangan dalam menilai saksi-saksi dan bukti yang ada. Kami masih menyakini bahwa masih banyak hakim-hakim yang berintegritas. Kami juga optimis terdakwa akan divonis bebas,” harapnya.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Singkawang menuntut 10 tahun penjara terhadap oknum anggota DPRD Singkawang, HA terkait kasus persetubuhan anak di bawah umur.
Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Singkawang, Heri Susanto usai sidang, mengatakan JPU menuntut terdakwa oknum anggota DPRD selama 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp2,5 miliar, dan apabila tidak dibayarkan maka diganti dengan pidana penjara selama 3 bulan.
"Selain itu, terdakwa HA juga dibebankan untuk membayar biaya restitusi sebesar Rp130 juta dan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 3 bulan serta membayar biaya perkara sebesar Rp5000," kata Heri.
Jaksa menyatakan terdakwa HA terbukti bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa akan melakukan persetubuhan dengannya, sebagaimana dalam dakwaaan alternatif kesatu melanggar pasal 81 ayat (1) UU RI Nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU RI Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi UU Jo Pasal 76D UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Halaman Selanjutnya
Selain itu, dalam rentan waktu yang dutuduhkan, terdakwa disebut memiliki jadwal kegiatan padat kaitannya dengan berbagai kegiatan bersama konstituennya selaku politisi. HA juga dipastikan tidak memiliki akses terhadap kunci gerbang gudang, yang menjadi tempat dugaan kejadian perkara.