Jakarta, VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi, menyatakan bahwa pendidikan antikorupsi nantinya akan menjadi mata kuliah wajib di kampus. Bahkan, hal itu sudah dibahas KPK dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek).
KPK dengan Kemendiktisaintek melalui Mendiktisaintek Brian Yuliarto, telah menandatangani bahwa pendidikan antikorupsi akan menjadi mata kuliah wajib. Kemendiktisaintek dengan KPK sama-sama berkomitmen mengajarkan pendidikan antikorupsi di perkuliahan.
"Kita bersama dengan Menteri Pendidikan Tinggi. Sudah ditandatangani bahwa pendidikan antikorupsi masuk di dalam MKWK (mata kuliah wajib kurikulum)," ujar Wakil Ketua KPK, Ibnu Basuki Widodo, di Gedung ACLC KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat 2 Mei 2025.
"Jadi nanti semua mahasiswa akan mendapatkan pelajaran tentang anti korupsi," sambungnya.
Lebih lanjut, kata Ibnu, sudah ada sejumlah universitas yang memberikan mata kuliah terkait antikorupsi. Dengan adanya pendidikan antikorupsi, maka diharapkan perilaku korupsi dapat diantisipasi.
"Jadi diharapkan bahwa semua warga negara Indonesia dan semua pejabat di Indonesia anti korupsi," ucap Ibnu.
KPK hari ini, juga memberikan pendidikan antikorupsi kepada murid dari PAUD hingga perguruan tinggi. Sekaligus dalam rangka Hari Pendidikan Nasional, Hardiknas 2025.
"Jadi pemberikan pendidikan antikorupsi itu sejak dini mungkin. Karena melalui ibu guru, melalui orangtua akan merubah dan membentuk sikap mental atau moralitas anak supaya anti-korupsi," kata Ibnu.
Tujuannya ke depan untuk menjauhi kegiatan korupsi. KPK juga menggandeng Pemprov Jakarta untuk melaksanakan acara tersebut.
Sementara itu, Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana menjelaskan bahwa pembelajaran untuk anak-anak dapat dilakukan dengan berbagai media. Salah satunya dari dongeng untuk PAUD, hingga film untuk jenjang SD.
"Apakah kalau PAUD mungkin lewat dongeng, dengan cerita, dan lain-lain. Kemudian kalau anak-anak sudah SD, sudah bisa melihat secara utuh, maka kita ajak untuk menonton film," kata Wawan..
Lebih lanjut, Wawan mengatakan lembaga antirasuah sudah merilis hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) terhadap pendidikan Indonesia yang masih ada sejumlah temuan. Dirinya menyebut melakukan tugas pendidikan antikorupsi perlu melibatkan banyak pihak.
Diberitakan sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merilis skor Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan pada 2024. Angkanya pun mengalami penurunan.
Sejatinya, tahun 2023 KPK meraih angka SPI sebanyak 73,7. Namun, di tahun 2024 menurun jadi 69,50.
Pengumumannya dilakukan KPK pada acara Peluncuran Indeks Integritas Pendidikan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta Selatan. Acara tersebut dihadiri oleh Mendikdasmen Abdul Mu'ti, Menag Nassarudin Umar serta Wamendikti Saintek, Stella Christie.
Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana mengatakan bahwa responden SPI tahun 2024 diambil dari lebih dari 36 ribu satuan pendidikan yang terdiri dari 35 ribu lebih satuan pendidikan dasar dan menengah serta 1.200-an satuan pendidikan tinggi.
Kemudian, jumlah sampel responden diambil dari pelbagai elemen dalam ekosistem pendidikan meliputi 1.041 lebih peserta didik, baik murid maupun mahasiswa.
Selanjutnya, ada seribu lebih tenaga pendidik, mulai guru maupun dosen. Pun ada sebanyak 1.001 lebih orang tua atau wali murid, serta 45 ribu lebih pimpinan satuan pendidikan dasmen dan dikti dengan jumlah keseluruhan sebanyak 449 ribu lebih.
Ada dua metode yang digunakan untuk mengetahui survei ini. Diantaranya yakni dengan metode online melalui WhatsApp dan email blast, serta CAWI (Computer Assisted Web Interviewing) dan metode hybrid yaitu menggunakan CAPI (Computer-assisted personal interviewing).
Wawan menyebutkan, SPI ini dilakukan demi mengetahui kondisi integritas pada tiga aspek dimensi yaitu karakter integritas peserta didik, ekosistem pendidikan terkait pendidikan anti korupsi, dan risiko korupsi pada tata kelola pendidikan.
"Jadi kalau dari angka memang kelihatan penurunan gitu ya. Tahun yang lalu itu 73, sekian, sekarang 69,5. Tapi kalau kita lihat sebenarnya, kalau tahun yang lalu itu kan baru levelnya di provinsi. Di provinsi, sehingga jumlah respondennya juga tidak sebanyak sekarang. Bahkan yang sebelumnya itu levelnya nasional kan. Hanya jadi ambil sampling secara nasional, kemudian tahun 2023 yang lalu, provinsi, mulai 2024 ini full sampai ke Kabupaten Kota," ujar Wawan.
Skor 69,50 ini merupakan angka nasional. Setiap Kabupaten tetap memiliki angka SPI sendiri.
"Jadi seperti itu kira-kira, kenapa nilainya penurunan, karena secara pelaksanaannya tadi, bertahap dari dulu nasional, kemudian level provinsi, sekarang sudah setiap Kabupaten Kota punya nilai di sini," kata Wawan.
Menurunnya angka SPI KPK di tahun 2024 disebabkan dengan berbagai macam temuan. Salah satunya yakni budaya mencontek siswa.
"Kasus menyontek masih ditemukan pada 78 persen sekolah dan 98 persen kampus. Masalah ketidakdisiplinan akademik 45 persen siswa dan 84 persen mahasiswa yang menjadi responden, mengaku pernah terlambat datang ke sekolah atau kampus," ucapnya.
"Namun tidak hanya siswa dan mahasiswa, menurut 69 persen siswa, masih ada guru yang terlambat hadir. Sedangkan menurut 96 persen mahasiswa, masih ada dosen yang terlambat hadir. Bahkan di 96 persen kampus dan 64 persen sekolah, ditemukan masih ada dosen atau guru yang tidak hadir tanpa alasannya jelas," lanjutnya.
Disisi lain, kata Wawan, upaya penerimaan gratifikasi juga masih ditemukan di lingkungan pendidikan. Ada 30 persen guru atau dosen dan 18 persen kepala sekolah hingga rektor masih menilai pemberian hadiah dari siswa atau wali murid adalah sesuatu hal yang wajar diterima.
Sebanyak 60 persen ditemukan bahwa wali murid atau siswa menganggap hal yang wajar ketika memberikan hadiah saat hari raya atau kenaikan kelas.
Pengadaan barang dan jasa juga masih ditemukan KPK. Hal itu merujuk pada beberapa persen kampus dan sekolah menentukan vendor pelaksana berdasarkan relasi pribadi.
Wawan menegaskan ada 12 persen sekolah justru menggunakan dana BOS tidak sesuai peruntukan dan aturannya. Diantaranya 17 persen sekolah masih ditemukan pemerasan, potongan, atau pungutan terkait dana bos
"Dan terkait pelanggaran lain-lainnya masih terjadi pada 42 persen sekolah. Perilaku-perilaku koruptif masih ditemukan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Pada 28 persen sekolah masih ditemukan pungutan di luar biaya resmi dalam penerimaan siswa baru. Pungutan lain juga ditemukan dalam sertifikasi atau pengajuan dokumen lain pada 23 persen sekolah dan 60 persen kampus," tukas dia.
Halaman Selanjutnya
"Jadi pemberikan pendidikan antikorupsi itu sejak dini mungkin. Karena melalui ibu guru, melalui orangtua akan merubah dan membentuk sikap mental atau moralitas anak supaya anti-korupsi," kata Ibnu.