Jakarta, VIVA - Kerja sama antara Klinik BD dan Klinik GSC, guna mengembangkan usaha kecantikan, berujung ke ranah hukum. Pasalnya, pemilik Klinik GSC yaitu IK, dipolisikan oleh pemilik Klinik BD yang berinisial DJR.
Pelaporannya terkait dugaan perusakan, intimidasi, serta pelanggaran kerja sama. Laporan dibuat ke Polres Metro Jakarta Utara dan diterima dengan nomor LP/B/659/V/2024/SPKT/Polres Metro Jakut/Polda Metro Jaya atas dugaan Tindak Pidana Penipuan/Perbuatan Curang sebagaimana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP dan atau Pasal 372 KUHP dan atau Pasal 406 KUHP.
Krisna Murti selaku pengacara IK menjelaskan, mulanya ada kerja sama bisnis yang dilakukan keduanya. GSC menyiapkan ruko pada tiga lokasi. Di PIK, Jakarta Utara, dipakai BD jadi klinik tanpa perlu bayar. Tapi seiring waktu, muncul perselisihan sampai berujung laporan polisi.
Dirinya menampik kliennya bertindak seenaknya pada karyawan BD, semisal pemakaian seragam kerja. Padahal, hal tersebut dikatakan sudah disepakati kedua belah pihak.
"Telah disepakati bahwa seragam yang dipakai karyawan GSC dan BD terdapat bordiran logo masing-masing klinik. Tidak ada paksaan dengan pakaian seragam," ujar dia, Jumat, 2 Mei 2025.
Ia mengatakan, pencabutan kamera CCTV di ruang praktik klinik tak dilakukan oleh karyawan GSC, tapi oleh operator CCTV. Pencopotan lantaran ada di ruangan yang perlu pasien membuka baju. Alhasil, kalau CCTV dipasang bakal melanggar hak privasi pasien.
Dia menyebut isu adanya intimidasi kepada karyawan BD pun dipastikan tak benar adanya. GSC cuma menganggap seorang karyawan BD berinisial R sudah buat resah klinik. Maka, GSC minta karyawan tersebut diganti. Tapi, BD malah mengambil mesin keluar dari klinik kemudian karyawan BD tak ada yang masuk kerja lagi serta tak menanggapi pertanyaan GSC.
"Workplace bullying yang diduga terjadi kepada karyawan BD, itu adalah karangan cerita dari pihak BD, bahwa yang sebenarnya terjadi adalah keresahan yang ditimbulkan oleh karyawan BD yang bernama R yang tidak kooperatif karena tidak ingin memindahkan mesin dan barang yang sebelumnya sudah dimintakan berkali-kali," kata dia.
Lebih lanjut Krisna menegaskan, tk ada perusakan, namun seluruh barang diambil dalam keadaan baik dengan tanda terima. Kata dia, mesin diambil sendiri oleh BD dari lokasi klinik tanpa izin atau pemberitahuan sebelumnya pada November 2024. Krisna mempertanyakan kliennya kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Menurutnya, penetapan tersebut dinilai cacat hukum. Ganti rugi yang diminta BD berdasar somasi disampaikan ke GSC yang menuntut ganti-rugi Rp811 juta. Sebab, GSC awam dengan hukum dan bingung menanggapinya. Alhasil, pimpinan GSC dilaporkan ke Polres Metro Jakarta Utara terkait dugaan tindak pidana perusakan.
"Bagaiamana bisa dikatakan mengerusak mesin dan barang? Apa unsur-unsurnya, apa yang dirusak, siapa yang merusak, siapa saksi-saksinya, menggunakan alat apa merusaknya Polres Jakarta Utara harus membuktikan mens rea dari dugaan tindak pidana tersebut," kata dia.
Adapun IK melaporkan balik DJR ke Polda Metro Jaya. Laporan diterima dengan Nomor: LP/B/2079/III/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA tertanggal 24 Maret 2025 atas dugaan tindak pidana Perusakan, Pemerasan dan memasuki pekarangan/tempat tinggal tanpa izin sehubungan dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 KUHP dan atau Pasal 335 KUP dan atau Pasal 167 KUHP.
Halaman Selanjutnya
"Workplace bullying yang diduga terjadi kepada karyawan BD, itu adalah karangan cerita dari pihak BD, bahwa yang sebenarnya terjadi adalah keresahan yang ditimbulkan oleh karyawan BD yang bernama R yang tidak kooperatif karena tidak ingin memindahkan mesin dan barang yang sebelumnya sudah dimintakan berkali-kali," kata dia.