Jakarta, VIVA – Pada 23 Mei 2025, salah satu media nasional detik.com menarik artikel berjudul “Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?” karya YF, yang sebelumnya tayang pada Kamis, 22 Mei 2025.
Artikel tersebut mengkritisi pengangkatan Letjen Djaka Budi Utama sebagai Dirjen Bea Cukai, yang dinilai melanggar prinsip meritokrasi dalam tubuh ASN.
Penghapusan artikel itu dilakukan atas permintaan penulis, yang mengalami ancaman serius terhadap keselamatannya.
Menurut laporan Tempo, YF mengalami dua insiden teror fisik, diserempet dan didorong hingga terjatuh oleh dua orang tak dikenal, tak lama setelah artikelnya terbit.
Menanggapi hal itu, Koalisi Masyarakat Sipil mengecam keras praktik teror dan intimidasi terhadap warga negara yang menyampaikan kritik atas kebijakan negara, terutama yang berkaitan dengan dominasi militer di ranah sipil.
"Dalam sistem demokrasi yang berlandaskan hukum, kritik adalah ekspresi sah yang dijamin konstitusi. Kekerasan terhadap warga sipil karena kritik yang dilontarkan adalah pelanggaran hak asasi manusia dan bentuk nyata dari pembungkaman kebebasan berekspresi," kata Koalisi Masyarakat Sipil dalam pernyataan tertulis, dikutip Minggu, 25 Mei 2025.
"Kami menegaskan bahwa insiden yang menimpa YF bukanlah kejadian terpisah, melainkan bagian dari pola kekerasan yang terus berulang," tambah koalisi tersebut.
Sejak gelombang penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI mencuat, intimidasi dan teror terhadap individu dan kelompok kritis semakin sering terjadi. Dalam dua bulan terakhir, Koalisi Masyarakat Sipil mencatat berbagai bentuk serangan, baik fisik, digital, maupun psikologis, yang menyasar akademisi, jurnalis, mahasiswa, pembela HAM, dan masyarakat sipil secara umum.
Berikut rangkaian intimidasi dan kekerasan yang terjadi dalam konteks penolakan terhadap dominasi militer di ruang sipil:
1. Intimidasi oleh aparat TNI dalam forum diskusi mahasiswa terkait penolakan RUU TNI di Universitas Udayana, UIN Walisongo, dan Universitas Indonesia.
2. Pengiriman kepala babi dan bangkai tikus kepada para jurnalis Tempo.
3. Ancaman fisik dan kriminalisasi terhadap pembela HAM, Andri Yunus dan Javier, yang menginterupsi rapat tertutup DPR di Hotel Fairmont.
4. Teror terhadap kantor KontraS pasca pengungkapan rapat tertutup DPR soal Revisi UU TNI.
5. Pengintaian terhadap kantor KontraS setelah pengesahan UU TNI dan intimidasi terhadap mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) yang mengajukan judicial review UU tersebut di Mahkamah Konstitusi.
"Koalisi menilai bahwa pembiaran atas pola kekerasan semacam ini tanpa penyelidikan, akuntabilitas, dan pemulihan korban merupakan bentuk kelalaian negara dalam memenuhi tanggung jawab konstitusionalnya. Tindakan aparat penegak hukum yang abai bukan hanya mencederai keadilan, tetapi juga memperkuat impunitas," ujar mereka.
Tindakan-tindakan teror ini tidak bisa dilepaskan dari konsistensi sikap kritis masyarakat sipil terhadap upaya normalisasi kembalinya praktik dwifungsi militer melalui revisi UU TNI, penerbitan Perpres 66/2025 tentang pelibatan TNI dalam kejaksaan, serta penempatan perwira aktif di jabatan sipil.
"Kritik atas kebijakan-kebijakan ini bukanlah ancaman, melainkan sinyal peringatan demokratis yang harus dijawab dengan dialog substantif, bukan represi."
Demokrasi tidak akan bertahan jika negara menjadikan kekerasan sebagai respon terhadap suara publik.
Halaman Selanjutnya
Sejak gelombang penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI mencuat, intimidasi dan teror terhadap individu dan kelompok kritis semakin sering terjadi. Dalam dua bulan terakhir, Koalisi Masyarakat Sipil mencatat berbagai bentuk serangan, baik fisik, digital, maupun psikologis, yang menyasar akademisi, jurnalis, mahasiswa, pembela HAM, dan masyarakat sipil secara umum.