Jakarta, VIVA – Tim Hukum Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah juga menyoroti terkait dengan kejanggalan setelah advokat Donny Tri Istiqomah dan mantan Bawaslu RI, Agustiani Tio Fridelina menjadi saksi dalam persidangan Hasto.
Sidang kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan PAW DPR RI, Hasto Krisityanto digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat pada Kamis, 24 April 2025.
Febri menjelaskan dari keterangan saksi terdapat sebuah inkonsistensi dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), serta percampuran antara fakta yang sebenarnya dengan asumsi-asumsi yang terungkap selama dua kali persidangan saksi.
“Jadi ada satu poin penting yang ada di dakwaan penuntut umum yang tidak terbukti. Satu poin penting, saya mulai dari satu poin yang paling mendasar. Jadi penuntut umum itu mendakwa pemberian uang sejumlah Rp 600 juta yang diberikan sebanyak 2 kali. Tadi confirm dan sesuai dengan keterangan saksi sebelumnya yang hari Kamis, minggu lalu, bahwa pemberian uang tersebut hanya terjadi satu kali. Satu kali pada tanggal 17 Desember 2019," ujar Febri di Pengadilan Tipikor, PN Jakarta Pusat.
Sidang Lanjutan Hasto Kristiyanto di Kasus Korupsi dan Suap
Photo :
- VIVA.co.id/M Ali Wafa
Kemudian, lanjut Febri, ada sebuah ketidaksesuaian jumlah uang yang didakwakan kepada Hasto dengan sejumlah fakta persidangan.
"Yang memberikan siapa? Yang memberikan pada saat itu adalah Tio kepada Wahyu, Tio bersama Saeful Bahri. Uangnya dari mana? Uangnya dari Harun Masiku. Itu yang tadi clear terbukti dan berkesesuaian dengan sidang sebelumnya. Jadi kalau bisa disebut bagian penting dari dakwaan KPK tadi, itu gugur. Dari tuduhan awal 600 juta, ternyata baru 200 juta yang diberikan,” kata Febri.
Lalu, Febri mengatakan berani menyampaikan seperti itu lantaran saksi sudah memberikan keterangan dalam persidangan.
"Kenapa kami berani mengatakan seperti itu? Karena tadi saksi mengatakan yang 400 atau 38.300 dolar Singapura tersebut tidak pernah berpindah tangan. Bahkan hanya diperlihatkan amplopnya, tapi kemudian diambil kembali dan ingin dikembalikan oleh Ibu Tio pada Saeful. Jadi tidak pernah ada pemberian 600, apalagi penerimaan 600. Berkesesuaian ya dengan keterangan Wahyu yang kemarin. Itu yang pertama terkait dakwaan, karena indikator yang bisa kita gunakan adalah dakwaan," kata dia.
Kemudian, Febri juga menyoroti adanya percampuran antara fakta dan asumsi yang terungkap selama persidangan.
“Kemarin pada saat keterangan Wahyu Setiawan seolah-olah ada fakta baru. Seolah-olah ya ada fakta baru, kalau kita semua ingat ada satu peristiwa yang disebut Wahyu Setiawan di ruang rokok. Wahyu Setiawan mendengar Saeful Bahri dan Donny bicara tentang sumber dana. Nah, tadi kita tanya ke Donny. Ternyata Donny mengatakan satu tidak benar semuanya di ruang rokok, karena Saeful justru ada di musola pada saat itu dan Ibu Tio ada di musola di lantai 2 Gedung KPK di sela pemeriksaan," jelas Febri.
Febri memberikan contoh bagaimana asumsi keliru dibangun berdasarkan keterangan yang tidak terverifikasi.
"Justru, Wahyu yang curhat dan bertanya pada Donny. Karena Donny ini kan background-nya juga lawyer ya. Wahyu yang bertanya pada Donny, kalau saya ini kan kena 2 kasus kata Wahyu, kira-kira hukuman saya berapa? Itu diputarbalikkan, seolah-olah Wahyu mendengar Donny dan Saeful bicara. Nah, itulah yang kemarin, minggu lalu yang kami sebut sebagai kita tidak bisa berpegangan dan hukum tidak boleh bergantung pada apa yang disebut dengan testimonium de auditu, atau yang disebut dalam istilah keseharian kabar burung," sebut Febri.
Jadi, Febri menegaskan perlu diverifikasi langsung benar tidak Donny dan Saeful bicara itu.
“Makanya harus diverifikasi langsung, benar gak Donny sama Saeful bicara itu? Bahkan, Ibu Tio yang ada di musola tersebut sebagai gambaran jarak antara musola dengan tempat wudhu atau tempat merokok itu mungkin sekitar paling jauh 2 meter. Jadi dekat sekali, paling jauh ya 2 meter. Mestinya itu terdengar dan itu di dalam ruangan. Ibu Tio tidak pernah mendengar itu sama sekali. Tadi kan ditegaskan, meskipun pada saat itu Ibu Tio sholat, tapi tidak pernah ada mendengar pembicaraan-pembicaraan seperti itu. Sehingga 2 saksi hari ini sebenarnya mengkonfirmasi, bahwa keterangan yang disampaikan Wahyu kemarin itu tidak benar dan tidak ada. Nah, ini satu poin penting sebagai edukasi hukum bagi kita semua. Jangan sampai ada orang yang dituduh dengan metode-metode testimonium de auditu tersebut," lanjut Febri.
Eks jubir KPK ini turut menyoroti bagaimana asumsi dapat terbentuk, kemudian dianggap sebagai fakta.
"Poin ketiga adalah kami dari awal sudah mengatakan ketika berkas kami baca, banyak sekali campur aduk fakta dengan asumsi. Di dua persidangan, pengujian bukti ini atau pemeriksaan saksi ini kita melihat betul bahwa asumsi-asumsi yang seharusnya tidak bisa digunakan sebagai bukti itu dituangkan sedemikian rupa dalam BAP seolah-olah asumsi itu mengkonstruksi kebenaran. Padahal, asumsi tidak boleh digunakan dalam kepentingan pembuktian secara hukum,” katanya.
Makanya, Febri mengatakan selalu memilah fakta dan asumsi yang terjadi dalam persidangan.
"Makanya kami selalu memilah ini faktanya betul ada komunikasi tapi tafsir atas komunikasi itu adalah asumsi. Tidak bisa dipegang secara hukum. Kalau dihubungkan dengan tadi pertanyaan ketika Bu Tio menyebutkan Pak Hasto atau Sekjen, Bu Tio mengakui itu asumsi saya saja. Asumsi dari mana? Karena Saeful sering bilang begitu pada Bu Tio. Sedangkan, tadi ditegaskan bahwa Saeful dari pertanyaan Bung Ronny ya, Saeful sering mencatut nama Pak Sekjen. Nah, tentu hal-hal seperti ini tidak bisa kita pertahankan sebagai sebuah kebenaran materiil di persidangan,” urai Febri.
Febri menyimpulkan bahwa dua hari persidangan memberikan kejelasan dalam memilah antara fakta yang benar, asumsi, dan konstruksi yang tidak berdasar.
Febri kemudian menjelaskan langkah konstitusional yang diambil PDI Perjuangan terkait kekosongan hukum menyangkut caleg terpilih, termasuk pengajuan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) dan permintaan fatwa.
Ia menilai bahwa permasalahan muncul karena KPU tidak melaksanakan putusan Mahkamah Agung dengan benar. Febri juga menyinggung adanya pihak-pihak yang memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi dengan menjanjikan pengurusan perkara di KPU.
"Jadi jalur konstitusional ini kemudian dibajak oleh kepentingan orang-orang tertentu. Nah, yang terjadi sekarang seolah-olah jalur konstitusional tadi dicampuradukkan dengan yang kedua. Itu harus dipisahkan," tegas Febri.
Diketahui, Hasto Kristiyanto didakwa merintangi penyidikan kasus Harun Masiku. Hasto juga didakwa memberikan suap untuk mengusahakan Harun Masiku bisa dilantik menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024 sebanyak Rp 400 juta.
Atas perbuatannya, Hasto dinilai telah melanggar Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Halaman Selanjutnya
Lalu, Febri mengatakan berani menyampaikan seperti itu lantaran saksi sudah memberikan keterangan dalam persidangan.