Jakarta, VIVA - Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda mempertanyakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal antara pemilu nasional dan daerah. Dia menyebut ada norma yang dilampaui MK.
Awalnya, Rifqi menjelaskan, MK dibentuk sebagai negative legislature sehingga posisinya hanya memberikan pandangan terhadap satu norma Undang-Undang apakah konstitusional atau inkonstitusional terhadap Undang-Undang Dasar (UUD).
Menurut dia, jika norma Undang-Undang itu dinilai inkonstitusional maka akan diserahkan kepada Presiden atau pemerintah dan DPR untuk disempurnakan.
“Nah, sekarang MK itu memposisikan diri sebagai positive legislature. Jadi, bukan hanya mengatakan bahwa ini inkonstitusional, tapi dia bikin norma sendiri,” kata Rifqi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 30 Juni 2025.
Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di MK.
Dijelaskan dia, jika itu terus terjadi maka khawatir ke depannya Indonesia tak bisa menghasilkan satu demokrasi konstitusional dan negara hukum yang baik.
Rifqi juga mengeluhkan bila nanti pihaknya sudah merevisi Undang-Undang Pemilu dan UU-nya belum dilaksanakan, namun kemudian ada judicial review (uji materiil) dan diterbikan lagi norma baru.
Bagi dia, jika kondisinya seperti itu terus maka tak bisa saling menghargai antar lembaga negara.
"Karena itu kemudian izinkan sekali lagi DPR dan Pemerintah melakukan pencermatan yang sangat serius terhadap putusan MK terbaru ini,” ujar Rifqi.
Meski begitu, Rifqi menilai hal ini bisa menjadi pintu masuk bagi semua pihak untuk melihat lebih jauh proses pembentukan hukum nasional Indonesia ke depannya.
Sebelumnya, putusan MK menyatakan Pemilu Presiden, pemilihan DPR, DPD RI akan dipisahkan dengan pemilihan DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah (Pilkada) tingkat gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota mulai 2029 mendatang.
MK memutuskan sebagian permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), terkait norma penyelenggaraan Pemilu Serentak.
"Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) dsn Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat secara bersyarat," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 26 Juni 2025.
Dalam pertimbangannya, MK memerintahkan pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan untuk memilih anggota DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota, dan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota.
"Sehingga Pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai Pemilu lima kotak tidak lagi berlaku," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan.
Halaman Selanjutnya
"Karena itu kemudian izinkan sekali lagi DPR dan Pemerintah melakukan pencermatan yang sangat serius terhadap putusan MK terbaru ini,” ujar Rifqi.