“Sunset” Bisnis Televisi Tidak Terbendung

7 hours ago 2

Televisi sudah memasuki sunset business (bisnis yang mulai meredup). Ini memang tidak terbendung, sebuah keniscayaan, konsekoensi logis kemajuan teknologi informasi.
Oleh: Sihol Manullang, Penulis adalah wartawan Suara Pembaruan (1987-2000), kini pegiat di Liga Literasi Indonesia

Jakarta, VIVA – Di berbagai grup whatsapp belakangan ini, beredar daftar stasiun televisi yang mengurangi jumlah karyawan. Bukan hanya satu atau dua, tetapi semua stasiun televisi yang ada negeri ini merampingkan jumlah karyawan. 

Ada apa dengan bisnis stasiun televisi sehingga semuanya mengurangi jumlah kru? Tak lain tak bukan, televisi sudah memasuki sunset business (bisnis yang mulai meredup). Ini memang tidak terbendung, sebuah keniscayaan, konsekoensi logis kemajuan teknologi informasi.

Kalau demikian halnya, maka fenomena ini perlu dipahami secara rasional. Perlu dicatat, apa yang terjadi pada bisnis televisi sekarang ini, bertahun-tahun lalu sudah menimpa surat kabar dan majalah cetak. Dibandingkan dengan akhir abad 20, sisa media cetak di dunia sekarang ini, tak sampai 40%. Lebih dari 60% sudah berhenti cetak.

Tulisan ini berusaha memahami pengurangan karyawan di semua stasiun televisi secara rasional. Untuk menggambarkan kemajuan teknologi yang berdampak besar pada media, terlebih dahulu mengurutkan kemajuan teknologi/industri telekomunikasi – yang membuat mayoritas media cetak berhenti terbit, karena iklan sudah direbut radio, televisi dan media daring. Kini media sosial menyedot belanja iklan, korbannya adalah televisi. 

Korban Modernitas

Pramudya Ananta Toer dengan bahasa sederhana mendefinisikan modernitas: kondisi di mana yang kuat berkembang tanpa batas, dan yang lemah akan menjadi korban perkembangan tanpa batas. Di zaman ini, yang berkembang tanpa batas adalah teknologi. Maka yang bisa menerapkan teknologi, akan berkembang tanpa batas.

Salah satu korban awal kemajuan teknologi adalah operator selular analog, dilindas operator digital. Hal inilah yang dengan cepat disadari investor kawakan dunia George Soros awal 1990-an. Ia mengambil posisi short (jual lebih dulu) atas saham sejumlah  operator selular analog di Benua Amerika.

Waktu Soros mengambil posisi short, Motorola (operator selular analog di Amerika Serikat) masih berjaya dengan teknologi Advanced Mobile Phone System (AMPS) yang diluncurkan sejak Oktober 1983. Namun Soros yakin, keuntungan operator ponsel analog akan kian menurun, hingga akhirnya tutup sendiri. Analog akan digantikan digital yang unggul kualitas dan lebih murah.

Apa yang diperkirakan Soros, menjadi kenyataan. Ketika tahun 1995 Amerika meluncurkan selular digital yaitu Code Division Multiple Access (CDMA), saham-saham operator analog langsung bertumbangan. Tak lama kemudian Soros buy back (terhadap posisi short). Di situlah Soros menuai untung besar. AMPS di Amerika ditutup resmi 18 Februari 2008. Australia malah menutup AMPS sejak September 2000. 

Seiring dengan penemuan Global System for Mobile Communication (GSM), operator analog di dalam negeri pun tewas. PT Komunikasi Selular Indonesia (Komselindo), “disalib” PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) yang mengoperasikan GSM (0816) sejak lahir 1 November 1994. 

Jika Satelindo  dibidani Deutch Telekom Mobile (DT Mobile) Jerman, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) 0811 dibidani PTT Telecom Nederland (Belanda), sejak 26 Mei 1995. Kemudian Exelcomindo (XL) 0818 pada 8 Oktober 1996, Indosat (0855-0856) 25 Juli 2001, menyusul beberapa operator lainnya.

Dua Badan Usaha Milik Negera (BUMN) PT Telkom (Persero) Tbk dan Indosat (Persero) Tbk, awalnya adalah pemegang saham utama Satelindo dan Telkomsel. Untuk menyiasati peraturan Telecommunication Union (ITU) yang melarang monopoli, Indosat kemudian keluar dari Telkomsel, sedangkan PT Telkom keluar dari Satelindo. Keduanya tukar-menukar saham secara inbreng (2001).

Indosat Ubah Haluan

Layanan Internet kabel optik Indosat HiFi

Photo :

  • Misrohatun Hasanah

Ketika Satelindo (perusahaan patungan Telkom dan Indosat) mengoperasikan GSM, Indosat sudah sadar betul, pada saatnya akan total “meninggalkan” bisnis utama berupa telepon internasional. Dua tonggak besar perkembangan teknologi telekomunikasi akan semakin sempurna, yaitu internet/data dan selular.

Menyadari dua tonggak tersebut, langkah pertama Indosat (Indonesian Satellite Corporation) adalah mendirikan Indosat Mega Media (IM2) tahun 1996. Mulai tahun 2000, IM2 mulai mengoperasikan televisi kabel yang dilengkapi internet. Tahun 2001 diluncurkan PT Indosat Multi Media Mobile (disingkat Indosat-M3 atau IM3), dengan kode awal 0855-0856. 

Kini sumber utama pendapatan Indosat adalah dari bisnis seluler, data dan satelit. Kalau saja Indosat tidak jauh-jauh hari menyadari arah perkembangan teknologi, mungkin nasibnya tinggal kenangan. Indosat selamat berkat kecerdikan mengubah haluan. 

Maka benarlah filsuf Yunani Kuno, Herakleitos (540 SM - 480 SM) yang mengatakan: Panta rhei, segala sesuatu selalu mengalir, segala sesuatu selalu berubah. Perubahan yang tetap, yang tetap adalah perubahan. 

Surat Kabar & Majalah

Sebelum harian pagi dan majalah, yang pertama-tama dilindas radio dan televisi adalah surat kabar sore di seluruh dunia. Tak perlu lagi menunggu berita dari koran sore, sebab ada siaran langsung di radio dan televisi. Televisi dan radio merebut porsi iklan, membuat surat kabar sore megap-megap.

Majalah dan harian pagi, “dibunuh” oleh portal berita. Media ini bisa dibaca dari mana dan kapan saja, secara gratis. Penguasaan bahasa asing untuk membaca media luar negeri, tak mutlak lagi, sebab ada penerjemah daring. 

Iklan yang mayoritas sudah dikuasai televisi, kemudian diambil lagi oleh portal berita. Jadi sisa untuk media cetak semakin kecil lagi. Tak heran, banyak yang berhenti cetak. Pertama-tama di Amerika, karena di sanalah daring termaju. 

Tersohor adalah majalah Newsweek,  setelah 80 tahun berkibar, mengakhiri edisi cetak di penghujung 2012, berubah menjadi daring: Newsweek Global (Januari 2013). Reader's Digest yang berusia selama 91 tahun, berakhir pada pertengahan Februari 2013. Menjadi portal saja. Tak terhitung lagi media cetak Amerika yang digilas portal berita.

Pun di Indonesia, sejumlah harian pagi sudah berhenti cetak. Semisal harian Sinar Pagi, Indopos, Koran Tempo, Harian Sindo dan banyak media lagi. Almamater penulis, Suara Pembaruan juga terpaksa berhenti cetak sejak 1 Februari 2021. Terakhir, Majalah Gatra mohon diri. Mayoritas koran cetak daerah sudah berhenti terbit.

“Sunset” Televisi

Tangis Presenter Pecah Saat Siaran Terakhir Kompas Sport Pagi

Penyebab utama merosotnya media cetak adalah iklan yang semakin menurun, karena mayoritas sudah diambil media daring. Iklan adalah laksana darah bagi media. Tanpa iklan dalam waktu yang lama, sama dengan darah yang tidak mengalir (jantung berhenti berdenyut). Tak ada media yang kuat jika tanpa sokongan iklan.

Dengan perkembangan teknologi seperti dipaparkan di atas, tentu bukan hal aneh jika perkembangan media sosial (medsos) mendorong bisnis televisi untuk memasuki masa sunset. Kelebihan medsos yang tidak mungkin ditandingi televisi, adalah sifat medsos yang on demand, tergantung pemirsa mau menonton konten apa, sesuai keinginan. Gerak iklan pun bergerak ke medsos.

Bukan hanya televisi berita, televisi hiburan pun terpaksa mengurangi karyawan, karena banyak acara yang ditinggalkan pemirsa. Hasil penelitian lembaga-lembaga rating yang selalu dibeli pemasang iklan (agar mereka tahu acara di televisi mana cocok memasang iklan), tak bisa dibohongi. 

Algoritma pemasang iklan di medsos, promosi mereka langsung muncul pada tayangan yang mereka mau. Algoritma iklan pancing misalnya, langsung muncul di podcast serba-serbi hobi memancing. Jadi tepat sasaran.

Modal membuka channel di medsos boleh dibilang nol rupiah, sedangkan mendirikan stasiun televisi butuh ratusan miliar rupiah. Dibanding televisi, biaya produksi acara di medsos sangat kecil. Televisi hanya memperoleh iklan pada saat acara ditayangkan, sedangkan tayangan di medsos bisa dapat iklan sepanjang abad, generate iklan setiap kali ditonton pemirsa, sesuai on demand.

Portal berita yang kini sudah mampu menayangkan video berita, membuat televisi semakin terpojok. Para pengelola portal berita pun semakin kreatif, mereka juga membuka podcast, mendaya-gunakan wartawan yang cakap mengolah isu dan mempunyai hubungan baik dengan para narasumber.

Kita bersimpati kepada rekan-rekan karyawan televisi yang terpaksa mengalami PHK. Semua ini konsekoensi logis kemajuan teknologi. Kita hanya bisa mengingatkan, jika hak-hak normatif para korban PHK tidak dipenuhi, tentu akan menjadi masalah hukum.

Rekan-rekan eks pekerja televisi yang cakap dalam industri audio visual, sesungguhnya dinantikan industri yang sama di medsos. Jadi peluang besar ada di depan mata.

Pendapat yang diungkapkan dalam tulisan ini adalah milik pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan VIVA.co.id

Halaman Selanjutnya

Pramudya Ananta Toer dengan bahasa sederhana mendefinisikan modernitas: kondisi di mana yang kuat berkembang tanpa batas, dan yang lemah akan menjadi korban perkembangan tanpa batas. Di zaman ini, yang berkembang tanpa batas adalah teknologi. Maka yang bisa menerapkan teknologi, akan berkembang tanpa batas.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |