Tiga Pakar Hukum Nilai RUU Kejaksaan Berpotensi Lemahkan Sistem Hukum di Indonesia, Ini Analisanya

3 hours ago 3

Jumat, 7 Februari 2025 - 19:52 WIB

Jakarta, VIVA – Revisi Undang-undang nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan dinilai berpotensi melemahkan sistem hukum di Indonesia. Revisi UU Kejaksaan itu dinilai berpeluang menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan jaksa.

Hal itu disepakati tiga pakar hukum dalam dialog 'Kejaksaan Superbody dan Ancaman Kekuasaan Absolut' yang digelar di Gedung Theater Prof. Qodri Azizy ISDB, Fakultas Syariah & Hukum, UIN Walisongo, Semarang.

Para pakar hukum tersebut Guru Besar Ilmu Hukum UIN Walisongo Achmad Gunaryo, Ketua PKY Jateng sekaligus Penghubung Komisi Yudisial Muhammad Farhan, dan advokat sekaligus praktisi hukum dan politik Bambang Riyanto. Ketiganya menilai ada beberapa poin di revisi UU Kejaksaan yang perlu dikaji ulang.

Ilustrasi kejaksaan.

Photo :

  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi

Bambang Riyanto mengatakan, dalam perubahan UU Kejaksaan ada beberapa item yang harus dikaji ulang. Yaitu Pasal 8 ayat 5 (Pemeriksaan Jaksa Izin Jaksa Agung), Pasal 11 A ayat 2 (Rangkap Jabatan), Pasal 30 B huruf 'b' (Menciptakan Kondisi yang Mendukung dan Mengamankan Pelaksanaan Pembangunan), dan Pasal 30 B huruf 'e' (pengawasan multimedia).

"Ada beberapa pasal yang berpotensi melemahkan sistem hukum Indonesia. Di antaranya Pasal 8 ayat 5 yang mengharuskan izin Jaksa Agung untuk memeriksa jaksa. Hal ini berpotensi menimbulkan independensi dan akuntabilitas," kata Bambang dalam keterangan tertulisnya, Jumat 7 Februari 2025.

Selain itu, pasal tentang rangkap jabatan juga dinilai perlu dikaji untuk mencegah konflik kepentingan. Ketiga pakar hukum ini berkesimpulan UU Kejaksaan yang baru menguatkan wewenang jaksa dalam banyak aspek. Misalnya tentang pemberian senjata api untuk perlindungan diri dan perluasan kewenangan, namun hal ini justru menimbulkan kekhawatiran adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Ketiga pakar hukum ini menilai dibutuhkan kewenangan tambahan untuk pengawasan terhadap pasal yang berisiko disalahgunakan untuk mencederai prinsip keadilan.

"Ingat bahwa perilaku hukum diukur dari 3 hal (Lawrence M. Friedman) yaitu Budaya Hukum, Struktur Hukum, Substansi Hukum. Mari kita coba perbaiki semuanya, saya setuju dengan pemateri berdua, pengawasan, pengawasan itu siapa? Masyarakat sipil," jelas Achmad Gunaryo.

Achmad menilai kewenangan yang terpusat tanpa mekanisme pengawasan yang jelas hanya akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, merusak independensi kejaksaan, dan mengganggu prinsip checks and balances. Tanpa perbaikan pada pasal-pasal yang rawan konflik kepentingan dan ketidakjelasan batasan kewenangan, perubahan ini bisa menjadi sebuah kemunduran bagi penegakan hukum yang adil dan transparan.

Oleh karena itu, diperlukan judicial review dinilai jadi solusi untuk mengkaji Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021.

"Pengawasan terhadap Kejaksaan dilakukan melalui dua mekanisme utama, yaitu pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-038/A/JA/12/2009, yang mengatur tentang ketentuan penyelenggaraan pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia," tegas Muhammad Farhan.

Halaman Selanjutnya

Ketiga pakar hukum ini menilai dibutuhkan kewenangan tambahan untuk pengawasan terhadap pasal yang berisiko disalahgunakan untuk mencederai prinsip keadilan.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |