Jakarta, VIVA – Aksi Akbar Ojol 2025 yang digelar serentak oleh ribuan pengemudi ojek online (ojol) dari berbagai aliansi di Indonesia, khususnya di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, rupanya tak hanya menjadi peristiwa jalanan. Aksi besar ini justru menghadapi “gembosan digital” yang tak kalah sengit melalui kemunculan tagar tandingan #OjolTetapNarik di media sosial, terutama Twitter (X).
Alih-alih memperkuat solidaritas, ruang digital pada hari ini menjadi panggung perpecahan internal. Tagar yang semestinya memperkuat narasi perlawanan terhadap ketimpangan sistem bagi hasil dari aplikator, justru berbelah menjadi dua kubu: mereka yang beraksi di jalan dan mereka yang tetap menarik order demi bertahan hidup.
Aksi Akbar 2025: Tuntutan yang Disuarakan Ribuan Ojol
Aksi besar ini digelar pada 20 Mei 2025, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Pengemudi ojek online dari Jabodetabek dan berbagai daerah lainnya berkumpul di Jakarta untuk menyuarakan sejumlah tuntutan utama, antara lain:
- Pemotongan komisi maksimal 10% dari aplikator
- Transparansi sistem algoritma dan skema bonus
- Perlindungan hukum bagi pengemudi sebagai pekerja, bukan hanya mitra
- Keterlibatan ojol dalam perumusan kebijakan transportasi digital
Aliansi pengemudi seperti Garda Digital, Ojol Merdeka, dan Mitra Ojol Bersatu menyatukan langkah dalam mengerahkan massa dari berbagai titik kumpul, seperti Monas, Patung Kuda, hingga Gedung DPR. Aksi berlangsung sejak pagi hingga sore dengan orasi dari mobil komando dan seruan damai. Namun di balik gegap gempita aksi lapangan, percikan konflik muncul di lini masa media sosial.
Massa ojol padati Medan Merdeka Selatan, lalu lintas diputar balikkan
Photo :
- VIVA.co.id/Fajar Ramadhan
Tagar #OjolTetapNarik: Gembosan Digital yang Mengganggu Konsolidasi Aksi
Sekitar pukul 10.00 WIB, tagar #OjolTetapNarik mulai menyalip tagar utama di trending topic Twitter Indonesia. Tagar ini disebarkan oleh sejumlah pengemudi yang memutuskan tidak ikut aksi dan memilih tetap menarik penumpang maupun pesanan makanan seperti biasa.
Gojek dan Grab.
Photo :
- Ken Kobayashi/Nikkei Asia
Cuitan-cuitan dari akun-akun ini berisi alasan-alasan personal dan emosional, seperti:
“Anak butuh susu, tagihan listrik belum dibayar. Maaf, saya #OjolTetapNarik.”
“Kalau saya demo, siapa yang bayar uang kontrakan bulan ini?”
“Saya dukung aksi teman-teman, tapi saya harus tetap cari nafkah.”
Unggahan seperti ini cepat menyebar, bahkan mendapat simpati dari warganet yang memposisikan para ojol non-peserta aksi sebagai korban sistem yang dilema—mereka ingin protes, tapi takut kehilangan pendapatan harian.
Tagar ini pun menjadi alat gembosan efektif terhadap narasi kolektif aksi. Tidak sedikit akun bot maupun opini dari pihak luar yang menumpang arus tagar ini untuk menuding aksi sebagai tidak relevan, memecah belah, bahkan mengganggu ketertiban umum.
Perpecahan di Kalangan Ojol: Benturan antara Idealisme dan Realitas
Ilustrasi driver ojek online (ojol)
Photo :
- VIVA.co.id/Andrew Tito
Kehadiran #OjolTetapNarik membuka diskursus yang lebih dalam di tubuh komunitas pengemudi. Di satu sisi, aksi massal dianggap sebagai bentuk perlawanan struktural terhadap ketimpangan dalam ekosistem digital transportasi. Namun di sisi lain, realitas ekonomi harian memaksa sebagian besar pengemudi untuk tetap online demi menyambung hidup.
Benturan ini tidak sederhana. Banyak pengemudi yang sebenarnya mendukung aksi secara moral, tetapi tidak bisa turun langsung karena tidak ada jaminan keamanan pendapatan atau kompensasi atas kehilangan waktu kerja.
Narasi ini justru memperlihatkan bahwa tidak ada keseragaman di kalangan mitra ojol, dan ruang digital dengan cepat membongkar ilusi kekompakan massa. Solidaritas digital yang sebelumnya dibangun melalui grup WhatsApp dan Telegram ojol bisa runtuh hanya dalam beberapa jam oleh kekuatan algoritma dan emosi di media sosial.
Halaman Selanjutnya
Tagar #OjolTetapNarik: Gembosan Digital yang Mengganggu Konsolidasi Aksi