Jakarta, VIVA – Perawatan paliatif adalah suatu layanan yang diberikan pada penderita penyakit serius dan progresif, bukan hanya pada pasien tapi juga keluarganya yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien itu sendiri.
Caranya dengan melakukan pemeriksaan, identifikasi kebutuhan pasien dan keluarganya. Dengan tujuan, diharapkan bisa mencegah atau mengurangi penderitaan pasien juga keluarganya. Scroll untuk informasi selengkapnya, yuk!
Internist, Konsultan Psikosomatik dan Paliatif Medik, Dr. dr. Rudi Putranto, SpPD, Subsp.Psi,(K), MPH, menjelaskan, aspek yang perlu diperhatikan dalam perawatan paliatif ini, mulai dari fisik, psikologis, emosional, spiritual, dan psikososialnya.
“Yang sering juga menjadi tantangan untuk membantu meningkatkan spiritual atau semangat pasien sehingga bisa melewati perjalanan penyakit dan pengobatannya dengan baik,” ujar dr Rudi di acara Siloam Oncology Summit ke-5, yang digelar MRCCC Siloam Hospitals Semanggi di Jakarta.
Tip 5: Konsultasikan ke Dokter jika Gatal Berlanjut
Dokter Rudi pun menegaskan, banyak mitos yang mengatakan bahwa perawatan paliatif hanya diberikan ketika pasien sudah tidak ada harapan untuk sembuh, dia pun menepis anggapan tersebut.
“Perawatan paliatif dibutuhkan sejak pasien mengalami atau terdiagnosis bahwa penyakitnya cukup serius atau progresif. Bukan perawatan di saat-saat terakhir pasien, ketika tidak ada lagi harapan untuk sembuh,” tegasnya.
Berada dalam ruang diskusi yang sama, Tim Paliatif Care MRCCC, DR. dr. Maria A. Witjaksono MALLC, menyebutkan, perawatan paliatif seringkali dibutuhkan oleh pasien kanker. Sebab setelah terdiagnosis, ia hidup dalam ketidakpastian dan ini jadi sumber kesedihan pasien. Setiap pasien memiliki hak untuk tahu apa yang terjadi pada dirinya. Therapeutic communication bermanfaat untuk mencoba memenuhi apa yang dibutuhkan pasien.
Sebagian pasien kanker ketika didiagnosis merasa tidak siap dan mengalami ketakutan, hidup dalam ketidakpastian bahkan kehilangan harapan. Pasien memerlukan informasi, tetapi tidak semua informasi harus diberikan dalam satu waktu. Hal ini karena harapan dan kebutuhan pasien setiap saat berubah.
“Informasi adalah hak pasien, tetapi tidak wajib untuk mendapatkannya. Bahkan ada pasien yang tidak ingin mendapatkan informasi tentang kondisinya, mungkin sebagai cara menghadapi tekanan yang ada. Jadi berikan informasi sesuai apa yang ingin diketahui pasien saja. Tanyakan apa yang paling mereka butuhkan,” papar dr Maria.
Lebih rinci, dr Maria menjelaskan, kultur atau budaya pasien di dalam perawatan paliatif harus benar-benar dijunjung. Orang berpikir paliatif itu tidak diapa-apakan, hanya menunggu waktu. Menurutnya, yang harus digarisbawahi adalah terapinya.
“Supaya pasien atau keluarganya yang awalnya tidak mau melakukan kemoterapi, akhirnya mau melakukan. Statement pasien dan keluarga selalu ada alasannya, itu yang harus dicari dan dibantu untuk diselesaikan. Bagaimana orang tidak takut pada perawatan paliatif dan benar-benar dukungan pada perawatan onkologi,” tuturnya.
Menurutnya yang membedakan perawatan paliatif dengan layanan kesehatan yang lain, kalau di luar paliatif, tugas dokter adalah menyembuhkan penyakitnya. Apapun dilakukan supaya sembuh. Namun perawatan paliatif yang diobati bukan hanya penyakitnya tetapi juga pasiennya. Walaupun penyakitnya tidak sembuh, namun pasiennya harus sembuh. Artinya, gejalanya harus dikontrol dengan baik walaupun penyebabnya tidak bisa dihilangkan.
“Agar kualitas hidup terjaga, perawatan paliatif harus dilibatkan sejak dini, untuk memberikan dukungan sehingga perawatannya bisa maksimal. Pelayanan palitif akan dilakukan sejak terdiagnosis, di stadium berapa pun. Karena seseorang yang divonis penyakit berat butuh dukungan fisik, psikis, sosial, dan emosional. Sehingga perlu dilakukan sejak awal,” ungkap dr. Maria.
Komunikasi Kunci Keberhasilan Terapi
Menyampaikan berita buruk memang perlu dilakukan dengan bijak, tanpa harus membohongi pasien apalagi memberikan harapan palsu, termasuk mematahkan semangatnya.
Seperti yang dipaparkan oleh Prof. David Currow, FAHMS, FRSN bahwa pola komunikasi sangat menentukan dalam perawatan paliatif terutama pada pasien kanker. Jangan sampai pasien beranggapan bahwa sebagai dokter kita seperti membohongi pasien.
“Kemarahan pasien sering kali bukan karena perawatan yang keliru atau berlebihan, melainkan karena kurangnya komunikasi yang terbuka dan jujur namun tetap realistis dengan kondisinya saat itu,” ujar Prof Currow.
Menurutnya, dokter punya tanggung jawab untuk berkomunikasi dengan benar dan baik untuk pasien dan keluarganya. Karena itu, dokter mesti memiliki kemampuan komunikasi yang komprehensif. Perawatan paliatif sejatinya adalah merawat pasien tanpa harus mengambil harapannya.
“Jadi pada perawatan paliatif, kemampuan komunikasi yang baik dan humanis menjadi kunci yang sangat penting. Kita tidak memecahkan masalah dalam keluarganya, tetapi memfasilitasi mereka dalam mengambil keputusannya sendiri,” pungkas Prof David.
Halaman Selanjutnya
Berada dalam ruang diskusi yang sama, Tim Paliatif Care MRCCC, DR. dr. Maria A. Witjaksono MALLC, menyebutkan, perawatan paliatif seringkali dibutuhkan oleh pasien kanker. Sebab setelah terdiagnosis, ia hidup dalam ketidakpastian dan ini jadi sumber kesedihan pasien. Setiap pasien memiliki hak untuk tahu apa yang terjadi pada dirinya. Therapeutic communication bermanfaat untuk mencoba memenuhi apa yang dibutuhkan pasien.