VIVA – Partai Komunis Tiongkok (PKT) kembali dicap sebagai salah satu pelaku perdagangan manusia terburuk di dunia. Hal ini tertuang dalam Laporan Perdagangan Orang (Trafficking in Persons/TIP) 2025 yang dirilis Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada 29 September 2025.
Selama keenam kalinya secara berturut-turut, Tiongkok ditempatkan pada Tingkat 3 – kategori terendah yang menunjukkan bahwa negara tersebut tidak memenuhi standar minimum untuk memerangi perdagangan manusia dan tidak melakukan upaya signifikan untuk memperbaikinya.
Laporan yang diluncurkan pada tanggal 29 September itu menggambarkan gambaran suram sebuah negara di mana kerja paksa, penindasan negara, dan eksploitasi tetap menjadi ciri-ciri pemerintahan yang dilembagakan alih-alih penyimpangan.
Kamp Kerja Paksa Xinjiang
Temuan ini merupakan dakwaan yang memberatkan terhadap sistem pemaksaan rezim Tiongkok yang luas, yang meluas dari kamp kerja paksa di Xinjiang hingga pabrik-pabrik yang memasok pasar global, dan bahkan hingga komunitas Tiongkok di luar negeri yang berada di bawah pengawasan transnasional yang terus berkembang.
Menurut Departemen Luar Negeri AS, Tiongkok terus menunjukkan “kebijakan atau pola” kerja paksa yang meluas di sektor-sektor yang berafiliasi dengan negara, yang paling parah adalah melalui penahanan dan eksploitasi massal terhadap warga Uighur dan minoritas etnis dan agama lainnya di Xinjiang.
Laporan tersebut menggarisbawahi bahwa praktik-praktik semacam itu bukanlah insiden yang terisolasi tetapi sistematis dan berakar dalam pada mesin kontrol negara. Penilaian resmi menuduh PKT mengoperasikan jaringan luas program kerja paksa yang melibatkan populasi yang ditahan, termasuk tahanan politik, minoritas agama, dan mereka yang dianggap tidak setia pada ideologi partai.
Pabrik-pabrik, lokasi konstruksi, dan badan usaha milik negara disebut-sebut mendapatkan keuntungan langsung dari kumpulan tenaga kerja paksa ini, menghasilkan output ekonomi bernilai miliaran dolar dengan kedok “pelatihan kejuruan” dan “pengentasan kemiskinan.”
Selama bertahun-tahun, Beijing bersikeras bahwa kebijakannya di Xinjiang bertujuan untuk “melawan ekstremisme” dan “meningkatkan lapangan kerja.” Namun, berbagai investigasi internasional dan bukti satelit menunjukkan adanya pusat-pusat penahanan yang luas, kompleks-kompleks berkawat berduri, dan pabrik-pabrik yang terletak berdekatan dengan apa yang disebut fasilitas-fasilitas pendidikan ulang tersebut.
Halaman Selanjutnya
Laporan TIP selaras dengan temuan-temuan ini, yang mencatat bahwa kerja paksa berkaitan erat dengan kebijakan negara dan bukan sekadar hasil sampingan dari korupsi atau pelanggaran hukum setempat.