Tibet, VIVA – Meskipun telah menghabiskan hampir seluruh hidupnya melawan penindasan Tiongkok di Tibet, buku baru Dalai Lama yang berjudul Voice for the Voiceless (Suara bagi yang Tak Bersuara) menghadirkan kekayaan kebijaksanaan dan optimisme.
Dilansir The Federalist, Minggu 11 Mei 2025, Steve Stone, seorang pakar keamanan siber, baru-baru ini menceritakan pengalaman yang membekas dalam hidupnya. Ia menemukan bahwa setiap peretas Tiongkok yang ia lacak ternyata menyerang rumah sakit yang sama. Target mereka ternyata adalah informasi medis dari satu pasien: Yang Mulia Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet. Peristiwa ini menunjukkan betapa jauh Partai Komunis Tiongkok (PKT) rela melangkah untuk memata-matai Dalai Lama.
Mengapa PKT begitu terobsesi dengan Dalai Lama? Jawabannya bisa ditemukan dalam buku Voice for the Voiceless: Over Seven Decades of Struggle with China for My Land and My People (Lebih dari 70 Tahun Perjuangan Melawan Tiongkok demi Tanah dan Rakyatku). Dalam buku ini, Dalai Lama membagikan pengalaman dan pandangan pribadinya tentang perjuangan panjang Tibet melawan dominasi Tiongkok.
Buku ini dimulai dengan kisah hidup Dalai Lama yang luar biasa. Di usia dua tahun, hidupnya berubah drastis ketika para pejabat Tibet mengenalinya sebagai reinkarnasi Dalai Lama ke-13. Saat berusia 15 tahun, pada 1950, Tiongkok yang dipimpin Komunis menginvasi Tibet, dan tanggung jawab besar untuk melindungi bangsanya jatuh ke pundak seorang remaja.
Versi resmi dari pemerintah Tiongkok menyebut periode 1950–1951 sebagai “pembebasan damai” Tibet oleh Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Namun, bagi Dalai Lama dan banyak warga Tibet, periode itu adalah “perampasan tanah secara terang-terangan terhadap negara merdeka dengan kekerasan.”
Tahun 1954, Dalai Lama yang kala itu berusia 19 tahun bertemu langsung dengan Ketua Mao. Mao menjanjikan bahwa Tibet akan tetap punya otonomi regional dan status Dalai Lama tidak akan berubah. Namun, janji itu segera terbukti palsu. Tentara Tiongkok mulai mengebom kota-kota, menghancurkan kuil-kuil, dan memaksa para biksu meninggalkan kehidupan religius mereka. Pasokan makanan juga terganggu karena kehadiran militer yang besar, menyebabkan kelaparan luas di Tibet.
Dari kenyataan pahit di lapangan, pengkhianatan janji, dan penderitaan rakyatnya, Dalai Lama mulai memahami watak sejati Marxisme. Ia menulis, “Yang tidak dimiliki oleh Marxisme adalah belas kasih. Kelemahan terbesarnya adalah mengabaikan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan secara sengaja menyebarkan kebencian lewat perjuangan kelas.”
Tahun 1959, ketika tentara Tiongkok menyerang kediamannya, Dalai Lama terpaksa melarikan diri ke India demi keselamatan. Saat itu usianya baru 24 tahun. Ia menjadi pengungsi, kehilangan tanah airnya.
Di dalam negeri Tiongkok, PKT mencap Dalai Lama sebagai “separatis” dan “pengkhianat.” Buku pelajaran dan propaganda pemerintah pun menggambarkannya dengan citra negatif. Namun Dalai Lama selalu membalas cercaan tersebut dengan kebesaran hati. Ia bahkan mengimbau para pengikutnya agar tidak kehilangan belas kasih terhadap rakyat Tiongkok.
Selama lebih dari 70 tahun di pengasingan, Dalai Lama terus berusaha membuka dialog dengan para pemimpin Tiongkok demi mencapai resolusi damai yang menguntungkan kedua pihak. Ia telah lama melepaskan tuntutan kemerdekaan penuh, dan kini hanya mengajukan permintaan otonomi terbatas di bawah pemerintahan Beijing — asalkan budaya dan kebebasan beragama rakyat Tibet tetap terjaga.
Selain Mao, Dalai Lama juga pernah berdialog dengan lima pemimpin Komunis Tiongkok lainnya: Deng Xiaoping, Hu Yaobang, Jiang Zemin, Hu Jintao, dan Xi Jinping. Deng dan Hu Yaobang sempat menunjukkan sedikit keterbukaan, tapi pada akhirnya semuanya menawarkan janji kosong dan tetap memberlakukan kebijakan yang mengikis budaya dan spiritualitas Tibet. PKT bahkan secara ironis mengklaim bahwa satu-satunya masalah Tibet hanyalah keberadaan Dalai Lama di pengasingan.
Xi Jinping adalah pemimpin PKT paling keras yang pernah dihadapi Dalai Lama. Sejak Xi berkuasa tahun 2013, komunikasi dengan Dalai Lama sepenuhnya terputus. Kebijakan represif terhadap Tibet menyerupai perlakuan terhadap Muslim Uighur di Xinjiang: sistem pengawasan ketat dan kamp “re-edukasi patriotik” yang memaksa warga Tibet untuk menyangkal Dalai Lama. Sejak tahun 2009, lebih dari 150 orang Tibet membakar diri sebagai bentuk protes terhadap penindasan PKT.
PKT menyimpan rasa dendam sekaligus ketakutan terhadap Dalai Lama. Penghormatan global yang ia terima dan perjuangannya bagi rakyat Tibet telah mempermalukan rezim Tiongkok, sekaligus mengundang simpati dunia. Menjelang ulang tahunnya yang ke-90 pada Juli nanti, PKT berharap waktu akan berpihak pada mereka. Mereka bahkan menggunakan peretas untuk memantau kondisi kesehatan Dalai Lama, siap mengambil alih ketika ia wafat. Targetnya: menemukan "reinkarnasi" versi mereka yang bisa dikendalikan dari dalam Tiongkok. Ini adalah ancaman nyata bagi jutaan rakyat Tibet yang mendambakan pemimpin sejati.
Dalai Lama menyadari rencana jahat tersebut. Meski hidup dalam pengasingan dan menghadapi banyak kekecewaan dalam interaksi dengan PKT, ia tetap menyimpan harapan untuk masa depan Tibet.
Dalam bukunya yang penuh wawasan, Dalai Lama menawarkan panduan untuk menghadapi penderitaan. Ia menulis, “Penderitaan dan masalah adalah bagian tak terpisahkan dari hidup manusia; yang terpenting adalah bagaimana kita meresponsnya. Kuncinya adalah jangan pernah melupakan kemanusiaan kita bersama — ikatan yang menyatukan pelaku, korban, dan kita semua.”
Berdasarkan ajaran Buddha, ia juga mengingatkan: “Musuh-musuh kita adalah guru terbaik kita. Teman bisa mendukung kita dalam banyak hal, tapi musuhlah yang menantang kita untuk mengembangkan kebajikan yang dibutuhkan demi ketenangan batin dan kebahagiaan sejati.”
Dalai Lama bahkan menganggap pengasingannya selama lebih dari 60 tahun sebagai berkah. Ia bisa menyuarakan penderitaan rakyat Tibet ke panggung dunia, sesuatu yang tidak bisa dilakukan rakyatnya sendiri. Ia juga mendapat kesempatan keliling dunia dan bertemu dengan berbagai orang dari latar belakang beragam — termasuk warga Tionghoa yang tinggal di luar negeri.
Dalam satu kunjungan ke universitas di Paris, seorang pemuda Tiongkok bangkit dan meminta maaf atas nama kakeknya, yang adalah tentara dalam invasi PLA ke Tibet. Dalai Lama menulis bahwa interaksi antarmanusia seperti inilah yang memberinya harapan akan penyelesaian damai, karena “pemerintahan bisa datang dan pergi, sekuat apa pun mereka, tapi rakyat akan selalu ada.”
Dalai Lama yakin bahwa rencana licik PKT untuk memanipulasi penerusnya akan gagal. Ia percaya bahwa Dalai Lama berikutnya akan muncul dari dunia bebas, bukan dari bawah kendali rezim Komunis. Hanya di dunia bebas, “misi utama Dalai Lama — yaitu menjadi suara bagi belas kasih universal, pemimpin spiritual Buddhisme Tibet, dan simbol harapan rakyat Tibet — dapat terus hidup.”
Buku baru Dalai Lama ini bukan hanya kisah perjuangan, tapi juga sumber kebijaksanaan dan harapan. Baik Anda peduli dengan isu Tibet maupun sedang menghadapi tantangan pribadi, buku ini dapat menjadi cahaya inspiratif dalam perjalanan Anda.
Halaman Selanjutnya
Dari kenyataan pahit di lapangan, pengkhianatan janji, dan penderitaan rakyatnya, Dalai Lama mulai memahami watak sejati Marxisme. Ia menulis, “Yang tidak dimiliki oleh Marxisme adalah belas kasih. Kelemahan terbesarnya adalah mengabaikan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan secara sengaja menyebarkan kebencian lewat perjuangan kelas.”