Belajar Lewat Media Sosial, Pahami Perilaku Konsumen di Era Digital

1 week ago 8

VIVA – Di era serba digital seperti sekarang, cara belajar telah berubah secara drastis. Dulu, belajar identik dengan suasana ruang kelas, tumpukan buku, modul dan pengajar yang berdiri di depan papan tulis. Di zaman sekarang ini belajar bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja bahkan sambil rebahan di rumah atau menunggu antrean di kedai kopi. Media sosial seperti Instagram dan YouTube telah menjelma menjadi ruang belajar baru yang tidak hanya informatif, tapi juga menyenangkan dan mudah diakses oleh siapa saja.

Instagram yang dulunya hanya digunakan untuk menyimpan/berbagi foto atau video dan memperlihatkan gaya hidup kini dipenuhi dengan konten edukatif yang dikemas dalam format carousell, reels, dan infografis menarik. YouTube pun telah lama menjadi gudang ilmu, dengan konten yang dapat ditemui seperti tutorial matematika, tip menulis esai, hingga pilihan mengikuti kuliah gratis dari universitas ternama. Kedua platform ini telah mengubah wajah pembelajaran modern, menjadi lebih fleksibel, visual, dan personal.

Fenomena ini menunjukkan perubahan besar dalam cara manusia menyerap informasi. Terutama generasi muda seperti Gen Z dan milenial, yang cenderung menyukai konten cepat saji, visual, dan to the point. Mereka tidak lagi tertarik pada teks panjang dan metode belajar konvensional. Inilah yang membuat konten edukasi digital berkembang pesat dan menjadi bagian penting dalam strategi pembelajaran saat ini.

Perubahan Perilaku Konsumen Digital

Menurut Michael R. Solomon dalam bukunya Consumer Behavior, perilaku konsumen tidak terjadi secara acak, melainkan dipengaruhi oleh proses psikologis, sosial, dan budaya. Dalam konteks belajar digital, konsumen (dalam hal ini pelajar atau audiens) tidak hanya menerima informasi secara pasif, tetapi juga secara aktif memilih, menafsirkan, dan merespons konten yang akan mereka konsumsi.

Generasi saat ini terbiasa dengan alur informasi yang cepat dan dinamis. Konten yang terlalu panjang atau membosankan pastinya akan dengan mudah dilewati. Sebaliknya, konten edukatif yang dikemas menarik dengan tampilan visual estetik, judul yang clickbait, dan narasi yang  singkat akan lebih mudah mendapatkan perhatian, disukai, dan dibagikan. Instagram secara alami menjadi platform yang cocok untuk kebiasaan ini karena menawarkan format yang cepat dikonsumsi dan interaktif.

Naiknya Edukreator dan Personal Branding

Salah satu hal menarik dalam tren ini adalah tumbuhnya fenomena edukreator yaitu individu yang membuat dan menggunakan media sosial untuk membagikan pengetahuan dan keterampilan mereka. Para pendidik, mahasiswa, hingga praktisi profesional kini aktif membangun personal branding sebagai sumber belajar. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga membangun audiens, komunitas, dan bahkan karir berbasis digital.

Melalui Instagram, para edukreator bisa dengan mudah mempromosikan kelas online, membagikan e-book, menyelenggarakan sesi tanya-jawab, hingga mengarahkan audiens ke video pembelajaran yang lebih lengkap di YouTube. Pendekatan ini menciptakan simbiosis digital: followers mendapatkan ilmu, dan kreator mendapat eksposur serta potensi penghasilan tambahan. Edukasi menjadi lebih inklusif dan terjangkau, sekaligus lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Apakah Audiens Benar-Benar Terpengaruh?

Di tengah gempuran konten hiburan dan tren viral, muncul pertanyaan penting: apakah konten edukasi benar-benar bisa menarik perhatian audiens? Dan jika iya, apa yang membuat seseorang mau mengklik, menonton, dan bahkan membagikan konten tersebut?

Jawabannya terletak pada tiga kunci utama yaitu relevansi, penyampaian visual, dan kedekatan personal. Konten edukasi yang dibawakan dengan gaya santai, relatable, dan menggunakan bahasa sehari-hari jauh lebih efektif dibanding pendekatan yang terlalu formal. Misalnya, seorang pengajar/guru matematika yang menjelaskan kalkulus yang mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari dan dipadu dengan visual animasi lucu akan lebih mudah diterima daripada presentasi formal berdurasi satu jam.

Selain itu, emosi dan identifikasi juga memainkan peran penting. Konten yang menyentuh pengalaman seseorang dengan contoh orang yang overthinking menjelang ujian, rasa malas belajar, atau keresahan saat mencari jurusan kuliah akan lebih mudah menyentuh hati audiens. Hal ini memperkuat hubungan emosional antara kreator dan pengikutnya.

Proses Psikologis: Dari Tertarik hingga Bertindak
Mengacu pada teori Solomon, perilaku konsumen digital dapat dijelaskan melalui empat tahap utama:

1. Exposure dan Attention
Setiap hari, pengguna Instagram terpapar ribuan konten. Namun hanya sebagian kecil yang benar-benar dilihat dan diperhatikan. Di sinilah pentingnya visual yang mencolok, caption yang menggugah rasa penasaran, serta hashtag yang relevan. Judul seperti “3 Tip Belajar Efektif Saat Mager!” atau “Belajar 1 Menit = Paham Seumur Hidup?” adalah contoh pemicu perhatian yang efektif bagi audiens.


2. Persepsi dan Interpretasi

Setelah melihat konten yang menarik perhatian, audiens mulai mengartikan informasi tersebut berdasarkan pengalaman dan kebutuhan mereka. Konsep selective perception menjelaskan bahwa audiens menyaring informasi yang dianggap paling relevan. Kredibilitas sumber, gaya penyampaian, dan kesesuaian dengan identitas diri menjadi faktor penting yang menentukan persepsi.

3. Motivasi dan Kebutuhan
Kebutuhan konsumen digital bisa bersifat fungsional dengan contoh seperti menyelesaikan tugas, mempersiapkan ujian) atau emosional (membangun rasa percaya diri dengan merasa produktif). Dalam konteks ini, Maslow’s Hierarchy of Needs juga relevan—karena belajar lewat Instagram bisa membantu memenuhi kebutuhan akan rasa aman, rasa dihargai, hingga aktualisasi diri.

4. Pengambilan Keputusan
Setelah melalui tahapan di atas, audiens akhirnya mengambil tindakan: mengklik tautan YouTube, menonton video, memberi like, berkomentar, atau bahkan menyebarkan konten tersebut. Ini adalah bentuk keterlibatan aktif yang menunjukkan bahwa promosi edukatif telah berhasil menggerakkan mereka.

Individu dan Komunitas: Dua Wajah Konsumen Digital

Konsumen digital dapat belajar secara individual dengan mengakses konten kapan saja, menyesuaikan waktu dan gaya belajar sesuai kenyamanan mereka. Namun banyak juga yang memilih belajar bersama komunitas digital. Komentar di YouTube, diskusi di Instagram, atau grup belajar daring adalah contoh nyata bagaimana pembelajaran modern bersifat sosial.

Dalam teori Solomon, ini disebut sebagai pengaruh reference group. Ketika seseorang bergabung dalam komunitas belajar, mereka tidak hanya mendapat ilmu, tapi juga motivasi dan validasi sosial. Bahkan, keberadaan komunitas sering kali menjadi penentu apakah seseorang akan konsisten belajar atau menyerah di tengah jalan.

Faktor sosial dan budaya juga berperan. Di lingkungan yang menghargai pembelajaran digital sebagai bagian dari gaya hidup, konten edukatif akan berkembang lebih pesat. Sebaliknya, di masyarakat yang masih skeptis terhadap media sosial sebagai sarana pendidikan, edukreator mungkin menghadapi tantangan dalam membangun kepercayaan.

Tips Praktis Promosi Edukasi yang Efektif

Bagi para edukator dan kreator, berikut beberapa strategi untuk memaksimalkan promosi edukatif di Instagram:

Gunakan visual yang menarik dan kontras: Pastikan desain pada kemasan konten mampu menangkap perhatian dalam hitungan 3 detik pertama.

Sisipkan Call to Action (CTA) yang jelas: Panggil audiens dengan ajakan seperti “Tonton versi lengkap di YouTube!” atau “Simpan dulu, belajar nanti!”

Bangun narasi yang edukatif dan jujur: Hindari promosi berlebihan, dan fokus pada nilai tambah yang akan didapat audiens jika menonton konten tersebut.

Libatkan audiens secara aktif: Gunakan polling, tanya dan jawab, atau komentar terbuka untuk menciptakan interaksi dua arah.

Jaga konsistensi antara Instagram dan YouTube: Branding yang seragam membangun kepercayaan dan memperkuat identitas konten.

Belajar Tak Lagi Harus Formal, Tapi Harus Bermakna

Saat ini, mendapatkan ilmu pembelajaran bisa dimulai dari satu scroll di Instagram, satu klik di YouTube, atau satu komentar di ruang diskusi digital. Tapi satu hal tetap sama: manusia akan terus belajar ketika mereka merasa dihargai, terhubung, dan diberi ruang untuk berkembang.

Untuk para kreator dan edukator: jadilah lebih dari sekadar penyampai konten. Jadilah bagian dari perjalanan belajar seseorang. Karena di balik satu konten edukatif yang bermakna, bisa lahir ribuan pikiran yang tercerahkan dan itu adalah dampak yang jauh lebih besar dari sekadar angka views atau followers.

Halaman Selanjutnya

Salah satu hal menarik dalam tren ini adalah tumbuhnya fenomena edukreator yaitu individu yang membuat dan menggunakan media sosial untuk membagikan pengetahuan dan keterampilan mereka. Para pendidik, mahasiswa, hingga praktisi profesional kini aktif membangun personal branding sebagai sumber belajar. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga membangun audiens, komunitas, dan bahkan karir berbasis digital.

Halaman Selanjutnya

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |