Harga Minyak Lesu, Industri Energi Mulai Lakukan PHK Massal

3 weeks ago 14

Rabu, 1 Oktober 2025 - 10:20 WIB

Jakarta, VIVA – Dalam beberapa tahun terakhir, industri minyak di Amerika Serikat (AS) menjadi sorotan. Di balik gemerlap keuntungan besar yang pernah dinikmati, kini sejumlah perusahaan raksasa justru menghadapi tantangan berat. 

Harga minyak yang stagnan membuat mereka harus menyesuaikan strategi bisnis, salah satunya melalui pengurangan tenaga kerja dalam jumlah besar.

Fenomena ini menunjukkan dinamika dunia energi yang tidak bisa lepas dari fluktuasi harga global. Meski pemerintah telah memberikan berbagai kemudahan regulasi untuk mendorong sektor energi fosil, kenyataannya faktor utama yang memengaruhi kondisi keuangan perusahaan tetaplah harga minyak dan gas bumi. 

Akibatnya, banyak perusahaan harus melakukan langkah efisiensi yang berdampak langsung pada ribuan karyawan. Di ConocoPhillips, misalnya, yang mengurangi 25% tenaga kerja global atau sekitar 3.250 orang dari total 13.000 karyawan (termasuk kontraktor). 

Sebagian besar pengurangan ini akan dilakukan pada tahun 2025. “Kami selalu melihat bagaimana kami bisa lebih efisien dengan sumber daya yang kami miliki,” kata Dennis Nuss, juru bicara perusahaan, seperti dikutip dari NY Times, Selasa, 30 September 2025.

Ilustrasi AI di Industri Energi

Photo :

  • freepik.com/freepik

Pengumuman ini datang hampir setahun setelah ConocoPhillips menyelesaikan akuisisi Marathon Oil senilai US$17 miliar atau setara Rp283,9 triliun, sebuah langkah yang menjadi bagian dari gelombang akuisisi besar-besaran di sektor minyak AS.

Pengurangan pekerja ini juga mencerminkan bagaimana kebijakan energi dari pemerintahan Trump berimbas pada perusahaan minyak. Meski sektor energi fosil meraih banyak keuntungan kebijakan tahun ini, mulai dari percepatan perizinan, lebih banyak lelang lahan, hingga pelonggaran regulasi emisi, efek positif tersebut baru bisa terasa dalam beberapa tahun ke depan.

Sementara itu, hal yang memengaruhi perusahaan saat ini adalah harga minyak dan gas. Harga gas memang telah pulih dari rekor terendah tahun 2024, namun harga minyak masih berada di level sedang. 

Harga minyak mentah di AS kini berada di kisaran US$64 per barel atau sekitar Rp1,07 juta per barel, dan sepanjang tahun ini bergerak di level tersebut. Angka ini memang masih memungkinkan perusahaan mendapatkan keuntungan dari pengeboran sumur baru, namun jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata US$77 per barel (sekitar Rp1,29 juta per barel) pada tahun 2024.

Akibat penurunan harga, keuntungan ConocoPhillips merosot 15 persen year-on-year, menjadi US$2 miliar atau setara Rp33,4 triliun pada kuartal kedua 2025. Penurunan laba ini juga dialami perusahaan minyak besar lainnya.

Chevron, yang merupakan perusahaan minyak terbesar kedua di AS, juga mengumumkan rencana pemangkasan besar. Tahun ini, Chevron akan memangkas hingga 20 persen tenaga kerja, atau sekitar 9.000 orang. Sementara itu, beberapa perusahaan lain juga melakukan pengurangan tenaga kerja dalam skala lebih kecil.

Meski pemangkasan ribuan pekerja ini mencuri perhatian, data federal menunjukkan bahwa sektor jasa minyak dan gas hanya mempekerjakan 2 persen lebih sedikit orang pada Juni 2025 dibandingkan setahun sebelumnya. Bahkan, pekerjaan di sektor konstruksi pipa justru meningkat.

Namun, jika dilihat dalam jangka panjang, industri minyak dan gas AS memang mengalami penyusutan tenaga kerja, meski pada saat yang sama produksi minyak terus mencatat rekor tertinggi.

Tak hanya itu, pasar saham pun merespons negatif. Harga saham ConocoPhillips turun lebih dari 4 persen pada Rabu sore, lebih dalam dibandingkan penurunan harga saham perusahaan minyak lainnya.

Melihat dinamika tersebut, jelas bahwa industri minyak global saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, permintaan energi masih tinggi dan teknologi pengeboran semakin maju. 

Namun di sisi lain, harga minyak yang tidak stabil memaksa perusahaan untuk terus menekan biaya. Ribuan pekerja pun harus menjadi korban dari strategi efisiensi demi menjaga profitabilitas perusahaan.

Halaman Selanjutnya

Pengurangan pekerja ini juga mencerminkan bagaimana kebijakan energi dari pemerintahan Trump berimbas pada perusahaan minyak. Meski sektor energi fosil meraih banyak keuntungan kebijakan tahun ini, mulai dari percepatan perizinan, lebih banyak lelang lahan, hingga pelonggaran regulasi emisi, efek positif tersebut baru bisa terasa dalam beberapa tahun ke depan.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |