VIVA – Media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern, dan salah satu platform yang paling menonjol adalah Instagram. Bagi generasi Z—kelompok yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an—Instagram bukan hanya tempat untuk berbagi foto dan video, tetapi telah menjadi ruang kompleks yang mencerminkan dinamika sosial, ekonomi, hingga psikologis generasinya. Di balik tampilan visual yang menarik dan antarmuka yang user-friendly, Instagram menyimpan pengaruh besar dalam pembentukan identitas, pola konsumsi, dan relasi sosial generasi ini.
Generasi Z tumbuh di era ketika teknologi digital sudah menjadi bagian dari kehidupan sejak dini. Akses terhadap internet, smartphone, dan media sosial bukanlah hal baru bagi mereka, melainkan sesuatu yang sangat familiar. Dalam konteks ini, Instagram muncul sebagai medium utama yang digunakan untuk mengekspresikan diri, menjalin hubungan, mencari hiburan, hingga memperoleh informasi. Keberadaan Instagram sebagai media visual menjadikannya sangat menarik bagi generasi ini yang memiliki kecenderungan terhadap komunikasi visual yang cepat, padat, dan estetik.
Salah satu aspek paling signifikan dari Instagram dalam kehidupan generasi Z adalah pembentukan identitas digital. Dalam platform ini, individu memiliki kendali penuh terhadap bagaimana dirinya ingin terlihat oleh dunia. Mulai dari pemilihan foto profil, isi feed, hingga gaya penulisan caption—semua dirancang untuk membentuk citra tertentu. Identitas yang ditampilkan bisa mencerminkan kepribadian nyata, namun tak jarang juga merupakan versi ideal yang telah dikurasi sedemikian rupa. Fenomena ini memunculkan diskursus baru tentang otentisitas di era digital. Apakah identitas yang ditampilkan benar-benar mencerminkan siapa seseorang, atau hanya gambaran yang ingin dipercayai oleh publik?
Lebih jauh lagi, proses konstruksi identitas ini tidak terlepas dari pengaruh eksternal seperti tren, standar kecantikan, gaya hidup selebritas atau influencer, hingga norma-norma sosial yang terbentuk di ruang digital. Generasi Z cenderung cepat beradaptasi terhadap tren yang berkembang di media sosial, baik dari segi gaya berbusana, cara berbicara, hingga cara berpikir. Hal ini menunjukkan bagaimana media sosial, termasuk Instagram, memiliki kekuatan besar dalam membentuk budaya populer dan memengaruhi persepsi kolektif.
Namun, Instagram tidak hanya menjadi tempat membentuk identitas, melainkan juga ruang konsumsi yang sangat aktif. Batas antara konten personal dan komersial kian kabur. Influencer membagikan pengalaman sehari-hari sembari mempromosikan produk, selebritas memposting endorsement dengan gaya naratif yang relatable, dan brand menghadirkan konten marketing yang dikemas layaknya unggahan personal. Generasi Z, sebagai digital native, bukan hanya menjadi konsumen konten, tetapi juga konsumen produk dan jasa yang dipasarkan melalui Instagram.
Sifat konsumsi di Instagram sering kali bersifat impulsif dan emosional. Tampilan visual yang menarik dan narasi yang menyentuh sisi personal menjadikan produk terlihat lebih "nyata" dan "dibutuhkan." Ini adalah bentuk soft selling yang sangat efektif—strategi yang membuat konsumen merasa mereka memilih dengan bebas, padahal sebenarnya telah diarahkan oleh algoritma dan strategi komunikasi visual yang kuat. Generasi Z, meskipun dikenal lebih kritis terhadap iklan konvensional, justru lebih terpengaruh oleh konten yang terasa organik dan sesuai dengan gaya hidup mereka.
Dalam konteks ini, terjadi pergeseran cara beriklan yang sangat menarik. Brand tidak lagi menjual produk secara langsung, melainkan menjual pengalaman, aspirasi, bahkan identitas. Sebuah unggahan tentang kopi di kafe tertentu, misalnya, bukan hanya tentang kopi itu sendiri, tetapi tentang gaya hidup yang ditampilkan—kesan santai, kreatif, dan modern. Hal yang sama berlaku untuk produk fashion, skincare, hingga barang-barang digital. Konsumsi menjadi simbol dari siapa seseorang, atau lebih tepatnya: siapa yang ingin mereka tampilkan.
Namun, dampak Instagram tidak selalu bersifat positif. Tekanan untuk terus tampil sempurna, mengikuti tren, atau terlihat produktif dapat memengaruhi kesehatan mental pengguna, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Fitur seperti jumlah likes, views, dan followers sering kali menjadi tolok ukur nilai diri, padahal hal-hal tersebut bersifat sementara dan tidak selalu mencerminkan realitas. Perbandingan sosial menjadi hal yang sulit dihindari ketika setiap hari disuguhi kehidupan orang lain yang tampak lebih menarik, lebih sukses, dan lebih bahagia.
Beberapa studi menunjukkan adanya korelasi antara intensitas penggunaan Instagram dengan tingkat kecemasan dan rendahnya kepercayaan diri. Hal ini terutama terjadi ketika pengguna terlalu sering membandingkan dirinya dengan orang lain atau merasa harus selalu tampil baik di depan publik digital. Dalam kondisi tertentu, media sosial bisa menjadi ruang yang melelahkan secara emosional, bukan karena platformnya itu sendiri, tetapi karena ekspektasi dan tekanan yang dibentuk di dalamnya.
Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa generasi Z juga memiliki kesadaran digital yang tinggi. Banyak dari mereka yang mulai sadar akan pentingnya batasan digital—mereka memilih untuk mengambil jeda dari media sosial, memfilter akun yang diikuti, atau membatasi waktu screen time. Di sisi lain, muncul pula gerakan digital wellness yang mengajak pengguna untuk menggunakan media sosial secara lebih sehat, otentik, dan sadar.
Instagram pun mulai merespons fenomena ini dengan menghadirkan fitur-fitur seperti “hide like count,” “close friends,” dan opsi untuk mengatur waktu penggunaan aplikasi. Hal ini menjadi bukti bahwa dinamika penggunaan Instagram oleh generasi Z bukan sesuatu yang statis, melainkan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran pengguna.
Lebih dari sekadar ruang hiburan, Instagram telah menjadi arena tempat ide, nilai, dan budaya saling bertemu dan berinteraksi. Generasi Z menggunakan platform ini bukan hanya untuk tampil, tetapi juga untuk menyuarakan isu, membentuk opini, hingga membangun komunitas. Dari kampanye sosial, gerakan lingkungan, hingga edukasi mental health—semuanya tumbuh dan menyebar lewat media sosial seperti Instagram. Ini menunjukkan bahwa generasi Z tidak hanya pasif mengonsumsi, tetapi juga aktif menciptakan dan berpartisipasi dalam perubahan sosial.
Kini, pertanyaan pentingnya bukan lagi sekadar seberapa sering Instagram digunakan, melainkan bagaimana dan untuk tujuan apa platform ini dimanfaatkan. Apakah sekadar untuk mengikuti arus, atau justru memanfaatkannya untuk menyuarakan sesuatu yang bermakna?
Di tengah segala kecepatan dan perubahan algoritma yang terus bergulir, Instagram tetap menjadi ruang yang sarat makna—bukan hanya bagi para penggunanya, tetapi juga bagi para pengamat budaya dan komunikasi. Apa yang kita pilih untuk unggah, siapa yang kita pilih untuk ikuti, dan bagaimana kita merespons apa yang kita lihat, semuanya adalah bagian dari narasi besar tentang siapa kita di era digital ini. Maka, mungkin kini saatnya bukan hanya aktif menjadi pengguna, tapi juga menjadi pembaca yang kritis terhadap realitas yang dibangun dalam dunia maya.
Sebab pada akhirnya, media sosial bukan sekadar soal eksistensi, tetapi juga tentang bagaimana kita memilih untuk hadir di dalamnya.
Halaman Selanjutnya
Beberapa studi menunjukkan adanya korelasi antara intensitas penggunaan Instagram dengan tingkat kecemasan dan rendahnya kepercayaan diri. Hal ini terutama terjadi ketika pengguna terlalu sering membandingkan dirinya dengan orang lain atau merasa harus selalu tampil baik di depan publik digital. Dalam kondisi tertentu, media sosial bisa menjadi ruang yang melelahkan secara emosional, bukan karena platformnya itu sendiri, tetapi karena ekspektasi dan tekanan yang dibentuk di dalamnya.
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.